Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba). Aturan ini, merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 tahun 2018.
Salah poin penting aturan itu adalah mengenai ketentuan pemberian izin ekspor mineral bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi. Pasal 51 ayat 2 menyebutkan izin ekspor diberikan jika kemajuan fisik pembangunan fasiltas pemurnian (smelter) telah memenuhi tingkat kemajuan, sesuai dengan rencana yang sudah diverifikasi oleh verifikator independen.
Dalam aturan sebelumnya, untuk mendapatkan rekomendasi penjualan ke luar negeri dilengkapi dengan dua persyaratan. Pertama, rencana pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri yang telah dilakukan verifikator independen. Kedua, melakukan verifikasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian oleh verifikator independen.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat dari 17 perusahaan hanya tiga yang mengalami kemajuan dalam pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat (smelter). Progres ini terhitung sejak 5 September 2018 hingga 30 September 2018.
Ada beberapa perusahaan yang belum mengalami kemajuan dalam pembangunan smelter. Salah satunya pabrik milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara yang dibangun sendiri di Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat. Sejak 5-30 September 2018, pembangunan smelter masih 10,10%. Pembangunan fisik pun belum ada.
Smelter lainnya yang tidak ada kemajuan adalah milik PT Freeport Indonesia di Gresik. Smelter perusahaan penghasil konsentrat ini sejak awal hingga akhir September pembangunan smelter hanya 2,508%. Sedangkan pembangunan fisik masih belum dilakukan.
(Baca: Realisasi Pembangunan Smelter Freeport di Bawah Target)
Perusahaan lainnya yang tidak mengalami progress pembangunan smelter PT Sebuku Iron Lateric Ores. Pembangunan smelter di Kotabaru, Kalimantan Selatan ini hanya 57,19%. Adapun pembangunan fisiknya sudah mencapai 56,29%.
Pembangunan smelter PT Kapuas Prima Coal pun tidak ada kemajuan. Perusahaan ini membangun dua smelter di Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Perkembangan smelter yang dibangun PT Kapuas Prima Citra untuk timbal 97,52% dan pembangunan fisik 81,13%. Sedangkan yang dibangun PT Kobar Lamandau Mineral untuk seng pembangunannya baru 19,73% dan pembangunan fisik 13,54%.
Smelter PT Rusan Sejahtera untuk konsentrat pasir besi di Kaur, Bengkulu pun tidak beranjak dari 15,84%, sedangkan pembangunan fisiknya 14,77. Adapun, smelter PT Cerita Nugraha Indotama untuk mengolah nikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara, perkembangannya masih 2,443% dan belum ada pembangunan fisik.
PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara juga belum melakukan pembangunan fisik smelter untuk nikel. Perkembangan pembangunan smelter di Halmahera Tengah, Maluku Utara ini hanya 1,29%.
PT Aneka Tambang juga tidak mengalami perkembangan dalam membangun smelter. Pabrik untuk mengolah nikel di Halmahera Timur, Maluku Utara ini perkembangannya masih 50,95%. Sedangkan pembangunan fisik sudah 8,83%.
Pabrik pengolahan dan pemurnian nikel PT Wanatiara Persada di Halmahera Selatan, Maluku Utara pun tak mengalami kemajuan di level 51,98% dan pembangunan fisik 5,34%. Smelter PT Fishdeco yang dibangun PT Bintang Smelter Indonesia di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara juga hanya 41,05% dengan pembangunan fisik 39,01%.
Smelter PT Sambas Mineral Mining di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara perkembangannya 4,97% dan pembangunan fisik 3,31%. Pabrik pengolahan nikel PT Modern Cahaya Makmur yang dibangun PT CMMI di Konawe pun tak beranjak dari 76,38%, sementara itu pembangunan fisiknya juga 76,38%.
PT Integra Mining yang ada di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara itu pun perkembangannya masih 20% dan pembangunan fisiknya 20%. Sedangkan PT Genba Multi Mineral belum ada perkembangan sama sekali dan pembangunan fisiknya 0%.