Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kementerian Perdagangan mengubah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak Bumi, Gas Bumi dan Bahan Bakar Lain. Salah satu poin yang harus direvisi adalah mengenai biaya survei impor.

Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana mengatakan selama ini ternyata biaya surveyor dalam kegiatan impor BBM dibiayai importir. Temuan itu terungkap pada kajian transformatif impor BBM yang disusun oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Studi ini dilakukan mulai November 2017 - Februari 2018.

Menurut Wawan, seharusnya surveyor dibiayai negara. “Ternyata selama ini importir. Harusnya biar independen itu negara yang bayar. Karena ini keperluan negara tidak ada conflict of interest," kata dia dalam temu wartawan di KPK, Jakarta, akhir pekan lalu.

Adapun, klausul mengenai biaya surveyor itu tertuang dalam pasal 23. Pasal 23 ayat 3 aturan itu menyebutkan biaya yang dikeluarkan atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis ekspor dan impor dibebankan pada negara. Akan tetapi, di ayat 4 menyebutkan dalam hal biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan verifikasi belum tersedia, biaya dibebankan kepada eksportir dan importir berdasarkan azas manfaat.

Group Head Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK Dedi Hartono mengatakan dengan aturan itu, kemungkinan importir akan mengeluarkan dana dua kali. Pertama, untuk surveyor yang mereka tunjuk sendiri. Kedua, mendanai surveyor yang ditunjuk negara dalam hal ini Kementerian Perdagangan. "Jadi si badan usaha importir ini membayar dua surveyor itu, " kata dia.

Untuk itu, Dedi meminta Kementerian Perdagangan merevisi aturan tersebut. Ini karena aturan yang menjadi payung hukum kegiatan surveyor itu tidak jelas.

(Baca: KPK Temukan Potensi Korupsi Kebijakan B20)

Seharusnya negara membayar surveyor yang ditunjuk Kementerian Perdagangan. Ini karena survei tersebut tergolong data negara. "Kami sebut ini redudancy sebenarnya. Kenapa tidak dihapus saja. Kami sarankan kalau menganggap ini perlu, pakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja, jangan dibayar importir," kata Dedi.