Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat penurunan jumlah wilayah kerja migas selama sembilan bulan terakhir. Hingga akhir September 2019, jumlahnya hanya 224 blok. Padahal periode yang sama tahun lalu ada 264 blok migas.
Capaian September 2019 itu juga yang terendah sepanjang lima tahun terakhir. Tahun 2013 merupakan yang terbanyak mencapai 321 wilayah kerja. Setahun kemudian, blok migas terus turun menjadi 318 blok. Lalu, 2015 turun lagi menjadi 312 blok. Sementara 2016 jumlah wilayah kerja menjadi 280 blok, dan pada 2017 hanya tersisa 255 blok migas.
Jika dirinci, jumlah blok selama September 2018 ini terdiri dari 89 blok eksploitasi, 98 blok eksplorasi dan 37 blok nonkonvensional. Dari jumlah itu 117 wilayah kerja berada di darat, 74 di laut lepas, dan 33 gabungan darat dan lepas pantai.
Dari 98 blok eksplorasi itu ada 82 yang aktif dan 16 proses terminasi. Kemudian, wilayah kerja nonkonvensional hanya 34 yang aktif dan sisanya masuk terminasi.
Sementara itu, dari 89 blok eksploitasi itu 74 tergolong sudah produksi dan 15 pengembangan. "Dari yang berproduksi tersebut mayoritas adalah Wilayah kerja yg sudah mature (berumur tua)," kata Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi kepada Katadata.co.id, Senin (15/10).
Produksi itu yang membuat lifting migas terus turun. Di sisi lain, penggantian biaya operasional (cost recovery) tidak turun.
Sebagai gambaran, Data SKK Migas per 30 September 2018 menyebutkan lifting migas selama sembilan bulan terakhir baru mencapai 1.919 juta barel setara minyak per hari (boepd). Padahal, target APBN 2018 sebesar 2.000 juta boepd.
Jika dirinci, lifting minyak bumi mencapai 774 ribu barel per hari (bph), targetnya 800 ribu bph. Sementara, lifting gas mencapai 1.145 juta boepd, dari target 1.200 juta boepd.
Adapun cost recovery selama sembilan bulan terakhir mencapai US$ 8,7 miliar atau sekitar Rp 132 triliun. Ini sudah 87% dari target cost recovery pada APBN 2018 sebesar US$ 10,1 miliar.
(Baca: SKK Migas Ungkap Penyebab Lifting Turun tapi Cost Recovery Naik)
Menurut Amien, prioritas yang harus dilakukan Indonesia adalah eksplorasi. Akan tetapi, eksplorasi membutuhkan biaya dan teknologi yang tinggi; serta kemampuan menghitung risiko. “Karena itu, Kontraktor yang masuk kategori dhuafa atau tidak punya uang sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban yang sudah ditandatangani dalam kontrak kerja sama harus segera minggir dari kegiatan hulu migas,” ujar dia.