Sebanyak 10 fraksi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Minyak dan Gas Bumi (migas). Ada sembilan poin penting dalam aturan ini, salah satu yang krusial mengenai posisi badan usaha khusus migas.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan dengan persetujuan 10 fraksi maka harmonisasi RUU Migas berlanjut ke tingkat berikutnya. Kesepuluh fraksi tersebut yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PPP, Demokrat, PKS, Nasdem, Gerindra, PAN, Hanura, dan PKB. “Dengan demikian selesailah pendapat mini fraksi,” kata Supratman di DPR, Jakarta, Senin (10/9).
(Baca juga: Arcandra Lihat Empat Tantangan Revisi UU Migas).
Dalam draf tersebut, badan usaha khusus migas yang tertuang dalam Pasal 1 dan 43 sampai 47 disinkronkan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang badan usaha milik negara (BUMN). Status dan organisasi, misalnya, akan mengikuti ketentuan BUMN. Namun kekhususan badan usaha migas yang tidak bertentangan dengan UU BUMN tetap dipertahankan seperti penetuan direktur utama yang perlu konsultasi dengan DPR.
Menurut Supratman, pada usulan awal, badan usaha khusus migas berada di bawah presiden. Namun setelah harmonisasi pada rapat panitia kerja, mereka menetapkan posisinya mengikuti UU BUMN. Adapun terkait perusahaan yang akan menjadi badan khusus migas, Supratman menyerahkannya kepada pemerintah, apakah Pertamina atau lembaga BUMN baru.
Poin kedua, kontrak kerja sama dalam Pasal 13 RUU Migas dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu kontrak pembagian hasil berdasarkan pruduksi bruto atau gross split, kontrak bagi hasil produksi atau production sharing contract (PSC), atau bentuk lain yang menguntungkan negara. Pada draft awal belum memasukkan kontrak gross split sebagai salah satu pilihan kontrak.
Ketiga, penambahan dua syarat yang harus dimuat dalam kontrak kerja sama tertuang dalam Pasal 13 ayat 9 huruf c dan huruf d. Syarat pertama yaitu evaluasi kontrak kerja sama untuk menjaga penerimaan negara apabila terjadi perubahan harga migas di pasar dunia. Syarat kedua, yaitu ketika pejabat badan khusus membuat kontrak kerja sama yang tidak menguntungkan negara maka kontrak dapat ditinjau ulang.
Keempat, badan khusus, BUMN, perusahaan swasta nasional, perusahaan swasta asing, dan koperasi yang mengusahakan wilayah kerja (WK) memberikan hak kelola kepada BUMD sebesar 10 % dalam tiga bentuk: hibah, pembagian keuntungan, dan bentuk lain. Hal ini tertuang dalam Pasal 16.
Kelima, Dewan sepakat badan khusus migas tetap diatur dalam RUU Migas. Ini dimuat dalam Pasal 48 sampai 51. Di draft awal, Komisi Energi DPR mengusulkan Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir (BPH) Migas tidak diatur di dalamnya.
Keenam, dalam mengimpor bahan bakar minyak (BBM), penetapan kuota impor BBM dikonsultasikan kepada BPH Migas yang tertuangkan dalam Pasal 48. Ketujuh, dalam menetapkan jumlah kuota impor minyak bumi, pemerintah pusat berkonsultasi dengan DPR. Ini diatur dalam Pasal 54. Di draf awal, Komisi Energi DPR belum mengatur soal kuota ini.
(Baca pula: Pemerintah dan DPR Sepakat RUU Migas Selesai Tahun Ini)
Kedelapan, terdapat klausul penegasan prioritas bahwa seluruh produksi migas dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 53 dan 56 ayat 1. Kesembilan, dalam menetapkan kuota impor gas bumi, pemerintah pusat berkonsultasi dengan DPR.
Sembilan pokok tersebut telah dibahas dalam tiga pertemuan intensif dan mendalam dapat rapat Badan Legislatif pada 11 Juli 2018, 5 September 2018, dan 10 September 2018. Selain itu, Badan juga memberi catatan agar penyempurnaan RUU Migas memperhatikan aspek perlindungan lingkungan hidup sebagai dampak dari sisa limbah migas.
Sementara itu, terkait posisi SKK Migas, Wakil Ketua Badan Totok Daryanto mengatakan lembaga tersebut akan dibubarkan seiring terbitnya UU Migas. Fungsi SKK Migas lalu melekat pada badan khusus migas yang akan berkontrak dengan investor dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). “Karena masih ada cost recovery,” kata dia.
(Baca: Revisi UU Migas, DPR Rancang Badan Usaha Khusus Migas)
Nantinya, Badan Musyawarah akan membahas draft RUU Migas ini berlanjut ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai inisiatif DPR. Menurut Totok, UU Migas bisa cepat diterbitkan asalkan pemerintah sepakat dengan inisiasi tersebut.