Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mewajibkan perusahaan tambang memasukkan kembali devisa hasil ekspornya ke Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan devisa, sehingga bisa memperkuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan kebijakan itu merupakan arahan Presiden Joko Widodo. Apalagi sesuai Undang-undang Dasar 1945 dan peraturan turunannya, segala sumber daya alam itu dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk negara.

Tidak ada tambang dalam bentuk apa pun, minyak dan gas bumi (migas) atau mineral dan batu bara (minerba) yang dimiliki swasta. “Yang punya izin usaha, kalau ekspor uang harus kembali, makanya kalau parkir di luar negeri tak bisa dimanfaatkan untuk dalam negeri,” kata dia di Jakarta, Selasa (4/9).

Untuk itu, di sektor minerba, semua ekspor harus memakai letter of credit (L/C) dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan. Jadi, 100% hasil ekspornya kembali ke Indonesia, boleh dalam bentuk dolar Amerika Serikat atau bisa ditempatkan di bank-bank Badan Usaha Milik Negara di luar negeri, seperti BNI di Hongkong, atau BRI di Singapura.

Nantinya, pemerintah akan membikin mekanisme penggunaan L/C tersebut. Detailnya pun akan diatur Bank Indonesia. “Tidak kembali akan ada sanksi kurangi kemampuan ekspornya. Jangan hasil alam kami diekspor uang tidak kembali ke sini,” ujar dia.

Direktur Jenderal Minerba Bambang Gatot Ariyono mengatakan tahun sekitar tahun 2015 dan 2016 juga pernah diterapkan kebijakan L/C. Saat itu, kriteria dari Bank Indonesia, ada beberapa yang mendapatkan persetujuan langsung diletakkan di bank devisa di Indonesia atau bank asing.

Namun, upaya itu belum berhasil karena yang memantau hanya Bank Indonesia dan Kementerian Perdagangan.  Kini, Direktorat Jenderal Mineral akan ikut memantau kebijakan L/C tersebut dengan meminta laporan dari perusahaan tambang.

Jika tidak menerapkan kebijakan itu akan ada sanksi. “Kalau sanksi lagi diperkirakan itu pengurangan produksi. Kami lihat perbulan berapa yang pantas diberikan pengurangan produksi,” ujar dia.

Sementara itu untuk sektor migas, ekspor tidak akan menggunakan L/C. “Migas sudah punya mekanisme sendiri. Mekanisme di hulu migas lebih advanced dari L/C, yakni kerja sama antara Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta SKK Migas,” kata Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi.

Mekanisme devisa hasil ekspor sektor migas akan mengacu Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Ini sudah diberlakukan di akhir 2016.

Nantinya, kontraktor menjual minyaknya ke luar negeri. Pembeli minyak itu akan transfer ke rekening bank, bisa bank asing di dalam negeri atau bank BUMN di negara lain. Ini akan diklarifikasi jumlah ekspornya.

SKK Migas juga akan menyampaikan laporan pengiriman ekspor barang ke Bank Indonesia. Bank Indonesia kemudian memverifikasi dan mencocokkan data tersebut dengan bea cukai.

(Baca: Jokowi Siapkan Langkah Jangka Pendek Hadapi Tekanan Rupiah)

Jika, devisa yang disetorkan lebih rendah akan ada sanksi. Sanksi administrasi tersebut yakni 0,5% dari nilai nominal devisa hasil ekspor yang belum diterima dengan nominal paling banyak Rp 100 juta.