Blok Rokan kini menjadi sorotan publik. Blok minyak dan gas bumi (migas) yang berada di Riau ini menjadi perhatian karena tengah menjadi rebutan PT Pertamina (Persero) dan PT Chevron Pacific Indonesia.

Meski tergolong tua, besarnya potensi yang ada di perut bumi Rokan ini bisa menjadi pemikat bagi setiap kontraktor. Selama bertahun-tahun Rokan menjadi salah satu penyumbang produksi siap jual (lifting) terbesar di Indonesia.

Meski selama semester I tahun 2018, lifting di bawah target, bukan berarti mengecilkan potensi Blok Rokan. Mengacu data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Blok Rokan masih bisa menghasilkan 207.148 barel per hari (bph) dari target 213.551 bph. Itu setara dengan 26% produksi nasional.

SKK Migas pun memprediksi lifting minyak Rokan di akhir 2018 akan mencapai 205.952 barel per hari (bph) atau dalam setahun sekitar 75 juta barel. Dengan capaian itu, Blok Rokan bisa menghasilkan pendapatan kotor hampir Rp 72 triliun. Ini dengan asumsi rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) saat ini sebesar US$ 66,55 miliar dan nilai tukar US$ 1 sebesar Rp 14.441.   

Capaian itu tentu akan lebih besar jika menggunakan asumsi harga minyak yang mengalami tren naik ke level US$ 70 per barel. Potensi tersebut bahkan melampaui target laba Pertamina tahun ini sebesar US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 36 triliun. Adapun, berdasarkan laporan keuangan yang sudah diaudit, pendapatan Pertamina sepanjan 2015 mencapai US$ 42,5 miliar. 

Potensi itu yang membuat PT Pertamina (Persero) tak khawatir mengenai pendanaan jika mengelola Blok Rokan. “Bayangin 200 ribu bph dikali harga minyak US$ 70 per barel. Itu mudah sekali untuk pendanaan,” ujar dia Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito, Rabu (25/7).

Blok Rokan ini pun berkontribusi dalam sepak terjang Chevron Indonesia. Mengacu laporan tahunan 2017, Chevron di Indonesia menjadi penyumbang produksi terbesar kedua setelah Thailand bagi induk usahanya di Amerika Serikat.

Total bersih produksi minyak Chevron Indonesia selama 2017 mencapai 164 ribu barel per hari (bph), salah satunya disumbang dari Blok Rokan.  Adapun secara global, Chevron memproduksi 2,7 miliar setara minyak per hari tahun lalu.

Untuk itu, Chevron pun masih tergiur mengelola Blok Rokan setelah kontrak berakkhir. Bahkan Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor dua kali bertemu langsung dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yakni Selasa (24/7) dan Kamis (26/7).

Dalam pertemuan pertama,menurut Luhut, petinggi Chevron mengungkapkan rencana investasi sebesar US$ 88 miliar dalam 20 tahun jika kontrak diperpanjang. Kemudian bisa meningkatkan produksi hingga 700 ribu barel per hari.

Tak hanya itu, Luhut mengatakan Teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) Chevron bisa meningkatkan cadangan migas."Jadi dengan teknologi dia itu bisa meningkatkan kapasitas cadangan dari minyak di sana ke 1,2 miliar barel," kata Luhut di Jakarta, Selasa (24/7).

Seluk Beluk Rokan

Blok Rokan saat ini masih dioperatori Chevron. Perusahaan asal Amerika Serikat ini mengelola blok itu sejak menandatangani kontrak pada 8 Agustus 1971. Kontrak itu berlaku 30 tahun.

Chevron bukan tiba-tiba mendapatkan Blok Rokan. Mereka sudah berada di Indonesia sejak 1924. Saat itu masih memakai nama Caltex dan tengah mencari minyak di kawasan Sumatera.

Sebelum kontrak berakhir atau tepatnya 1992, Chevron sudah mendapatkan kepastian beroperasi di Blok Rokan hingga 8 Agustus 2021. Mereka mengelola 100% blok tersebut hingga kini.

Luas blok ini mencapai 6.220 kilometer persegi (km2). Blok Rokan memiliki hampir 96 lapangan minyak. Namun, lapangan yang tergolong memiliki potensi minyak besar hanya Duri, Minas, dan Bekasap.

Lapangan Duri menjadi sempat menjadi primadona karena bisa menghasilkan minyak bumi dalam jumlah besar. Lapangan yang ditemukan tahun 1941 dan berproduksi 1958 ini mencapai titik puncak 65.000 barel per bari pada 1965. Setelah itu mengalami penurunan produksi secara alamiah.

Chevron tak tinggal diam dan mulai menerapkan teknologi injeksi uap (steam flood) sejak 1985  untuk menopang produksi migas. Teknologi itu sebenarnya sudah diuji coba sejak 1975.

Alhasil, produksi Lapangan Duri bisa mencapai 300 ribu barel per hari pada 1994. Hingga saat ini, Lapangan Duri telah menghasilkan lebih dari 2,6 miliar barel minyak.

Sumur Minyak (Chevron)

Lapangan andalan lainnya adalah Minas dan diklaim sebagai terbesar yang pernah ditemukan di Asia Tenggara. Lapangan yang ditemukan 1944 dan berproduksi 1952 itu menghasilkan minyak jenis Sumatran Ligth Crude yang diklaim terkenal di dunia.

Chevron perlu 17 tahun untuk memperoleh produksi 1 miliar barel di Minas yang terjadi pada tahun 1969. Adapun Pada 1970-an, operator blok itu menerapkan teknologi injeksi air (water-flood) yang pertama diperkenalkan dan diterapkan di Minas.

Teknologi injeksi itu berhasil mendorong produksi Minas. Tahun 1976, Minas mencatat sejarah produksi 2 miliar barel. Lalu di tahun berikutnya, Minas mencapai angka produksi tiga miliar barel minyak pada tahun 1984.

Kemudian di 1990, Chevron menerapkan instalasi metode pola injeksi air (pattern water-flood method) di Minas. Sekitar enam sumur minyak di bor di wilayah itu. Dengan metode injeksi itu, Lapangan Minas pun mencapai produksi kumulatif 4 miliar barel minyak pada tahun 1997.

(Baca: Luhut Buka Peluang Blok Rokan Dikelola Bersama Pertamina dan Chevron)

Selang beberapa tahun yakni pada 2013, Chevron menggunakan teknologi baru di Minas yakni surfactant flooding. Ini untuk meningkatkan produksi minyak di Rokan. Dari data SKK Migas,  sejak beroperasi 1971 hingga 31 Desember 2017, total produksi Chevron di Blok Rokan mencapai 11,5 miliar  sejak awal operasi.

Reporter: Anggita Rezki Amelia