Harga minyak mentah terus mengalami tren kenaikan setelah adanya isu mengenai keluarnya Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir Iran. Kenaikan harga minyak itu bisa membawa efek domino bagi perekonomian Indonesia.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan tren harga minyak ke depan kemungkinan akan semakin menguat. Apalagi dengan adanya keputusan Amerika Serikat terkait kesepakatan nuklir Iran.

Kesepakatan dengan nuklir Iran ini diteken 2015 antara Iran dan Tiongkok, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat. Dengan kesepakatan itu, sanksi Iran bisa dicabut asalkan mereka mau membatasi program nuklirnya. Jadi, jika kesepakatan itu dibatalkan, pasokan minyak dari Iran bisa berkurang. 

Menurut Komaidi, kenaikan harga minyak yang tinggi akan relatif tidak menguntungkan Indonesia. Ini karena Indonesia sudah menjadi net importir sejak tahun 2002. “Indonesia perlu berhati-hati,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (11/5).

Efek pertama yang akan dirasakan Indonesia akibat kenaikan harga minyak mentah  adalah membengkaknya subsidi energi di luar kapasitas fiskal. Kedua, kebutuhan devisa impor makin besar. Ketiga, nilai tukar berpotensi semakin terdepresiasi.  

Keempat, harga barang dan jasa akan berpotensi semakin mahal. Kemudian, efek kelima, inflasi akan semakin meningkat. Keenam, daya saing produksi dan jasa makin melemah.

Untuk itu, pemerintah harus bisa mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Neraca Pembayaran dengan. Selain itu, mitigasi bisa dilakukan, tetapi lebih ke aspek mencari solusi optimal karena tidak bisa menghindari dampaknya.

Pemerintah harus membuat kebijakan energi yang jangka panjang. “Tidak ada kebijakan instan yang bisa dilakukan dalam satu tahun, apalagi hanya untuk kebijakan responsif,” ujar dia.

(Baca: Harga Minyak Indonesia pada April Tertinggi Sejak November 2014)

Adapun, harga minyak jenis Brent saat ini sudah menyentuh level US$ 77,27 per barel. Kemudian harga minyak jenis West Texas Intermediate US$ 71,34 per barel.