Dewan Perwakilan Rakyat/DPR meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM Ignasius Jonan segera memutuskan nasib delapan blok minyak dan gas bumi/migas yang kontraknya berakhir tahun 2018. Ini karena bisa berpengaruh terhadap produksi atau produsi siap jual (lifting) migas.
Anggota Komisi VII Harry Poernomo mengatakan dengan segera diputuskannya nasib delapan blok itu harapannya produksi bisa lebih terjaga. "Harusnya segera ditetapkan operator yang baru agar segera berproduksi normal, syukur bisa meningkat," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (26/3).
Menurut Harry, sebaiknya delapan blok migas itu diserahkan kepada PT Pertamina (Persero). Adapun, delapan blok itu adalah Sanga-sanga, East Kalimantan, Tuban, Ogan Komering, South East Sumatera/SES, North Sumatera Offshore/NSO, Attaka, dan Tengah.
Dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas/SKK Migas, hingga 20 Maret 2018, produksi migas hanya 2,12 juta barel setara minyak per hari (bsmph) atau 99% dari target. Perinciannya minyak 768.298 barel per hari (bph) dan gas 7.943 juta kaki kubik per hari (mmscfd).
Produksi migas yang hanya 2,12 juta bsmph ini juga turun dalam tiga hari terakhir. Berdasarkan data Kementerian ESDM, per tanggal 17 Maret 2018, produksi migas bisa mencapai 2,17 juta bsmph.
Adapun, rata-rata lifting minyak selama bulan Maret hanya mencapai 625.770 barel per hari. Angka itu masih di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN 2018 sebesar 800.000 barel per hari.
Harry juga menilai rendahnya produksi dan lifting itu karena Kementerian ESDM tidak melakukan terobosan baru dalam upaya meningkatkan produksi migas. Faktor lainnya adalah tidak ada temuan blok atau lapangan baru sehingga mau tak mau produksi migas pun ikut turun.
Sementara itu,Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan setidaknya ada dua hal yang bisa membuat produksi migas belum mencapai target hingga saat ini. Kedua faktor itu harus segera pemerintah tindaklanjuti.
Pertama, adanya gangguan operasi produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown). Kedua, terkendala masalah nonteknis seperti belum adanya kepastian perpanjangan blok yang akan habis kontrak. "Karena terkait pengembalian modal apabila tidak diperpanjang," kata dia.
Kendala nonteknis lainnya adalah perizinan. Faktor ini dinilai menjadi salah satu penghambat kontraktor migas dalam menjalankan operasi. (Baca: Ketidakjelasan Nasib Kontrak 8 Blok Migas Ancam Target Lifting)
Namun, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial membantah belum adanya keputusan delapan wilayah kerja itu membuat produksi dan lifting migas nasional turun. “Pemerintah kan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 47 Tahun 2017 untuk menjamin investasi di blok migas yang berakhir akan diganti," kata dia di Jakarta,Jumat (23/3).