PT Pertamina (Persero) mencatat adanya kehilangan potensi pendapatan akibat tidak berubahnya harga Bahan Bakar Minyak/BBM jenis Solar dan Premium di saat harga minyak dunia meningkat. Selama Januari hingga Februari 2018, potensi penerimaan yang hilang dari perusahaan pelat merah itu mencapai Rp 3,9 triliun.
Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Muchamad Iskandar mengatakan kebijakan tidak menaikkan harga Solar dan Premium ini membuat adanya selisih harga keekonomian dan yang dijual ke masyarakat. Selisih itu yang ditanggung Pertamina. “Ini sudah disepakati bersama harga ditetapkan sama tidak ada kenaikan, sehingga kami hitung potensi lost revenue,"kata dia di DPR, Jakarta, Senin (19/3).
Dari Rp 3,9 trilitun itu, jika dirinci adalah kehilangan potensi pendapatan untuk penjualan BBM Premium dan Solar di luar Jawa, Madura, Bali/Jamali sebesar Rp 3,49 triliun. Sisanya berasal dari penjualan di Jamali.
Potensi kehilangan ini, menurut Iskandar sudah terjadi sejak pertengahan tahun 2016. Ia mengakui, sebelum itu sebenarnya harga Premium dan Solar yang ditetapkan pemerintah lebih tinggi dari keekonomian. Ini karena harga minyak indonesia (Indonesian Crude Oil/ICP) pada tahun tersebut mencapai us$ 37 per barel.
Namun, kelebihan itu sudah dikembalikan kepada pemerintah. Sedangkan setelah 2016, harga ICP bergerak naik dan kini di atas US$ 60 per barel. Namun harga BBM yang ditetapkan pemerintah tidak berubah sehingga selisih harga ditanggung Pertamina.
Menurut Iskandar jika harga BBM tidak berubah dan harga minyak tidak turun hingga akhir tahun ini, potensi kehilangan pendapatan Pertamina dari menjual Solar dan Premium akan membengkak. Apalagi di bulan Juni 2018 nanti dengan adanya lebaran yang membuat konsumsi kedua produk itu meningkat.
Untuk periode April hingga Juni 2018, harga keekonomian Premium mencapai Rp 8.600 per liter. Ini dengan formula harga dasar yang dipakai yakni 103,92% dari Harga Indeks Pasar (HIP) bensin RON 88 ditambah biaya penyimpanan (storage), biaya inventory, biaya angkut ke SPBU, dan margin SPBU sebesar Rp 830 per liter, dan ditambah 2% harga dasar. Sementara itu harga yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 6.450 per liter.
Sedangkan harga Solar untuk periode yang sama mencapai Rp 8.350 per liter. Harga ini diperoleh dengan menggunakan penghitungan formula harga dasar dengan menggunakan rumus 102,38% dari HIP Minyak solar, lalu ditambah biaya penyimpanan, biaya inventory hingga biaya angkut ke SPBU dan margin SPBU sebesar Rp 900 per liter.
Adapun harga yang ditetapkan pemerintah Rp 5.150 per liter. Artinya ada selisih sebesar Rp 3.200 per liter. "Ini sudah termasuk subsidi (Rp 500 per liter), " kata Iskandar.
Dari data BPH Migas, kuota premium tahun ini kepada Pertamina mencapai 7,5 juta KL, lebih rendah dari kuota tahun lalu mencapai 12,5 juta KL, adapun realisasi premium tahun 2017 mencapai 7 juta KL atau sekitar 56,37%. Sementara kuota solar yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebesar 15,62 juta KL, meningkat dibandingkan kuota solar tahun 2017 yang mencapai 15,5 juta KL. Adapun realisasi solar tahun lalu 14,5 juta KL atau 93,62%.
Pelaksana Tugas Dirjen Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan penetapan harga jual BBM Premium dan Solar saat ini sudah mempertimbangkan keuangan negara dan daya beli masyarakat. "Harga dasar Premium dan Solar mengacu keputusan menteri ESDM," kata dia.
Untuk membantu Pertamina, Pemerintah tengah berupaya untuk menambah subsidi Solar sebesar Rp 500 per liter untuk dibahas dalam APBNP 2018. Dengan demikian nantinya subsidi solar menjadi Rp 1.000 per liter.
(Baca: Pertamina Masih Untung, Harga BBM Dinilai Tak Perlu Naik Hingga 2019)
Adapun menurut Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik, penyaluran Premium ke depannya akan dilarang. Alasannya adalah Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait penggunaan BBM dengan standar euro 4. "Ini membingungkan kami juga dalam laksanakan tugas. Contoh asian games tahun ini di kota-kota Asian Games dilaksanakan seperti Jakarta Palembang bandung itu sudah diminta ke euro 4," kata dia.
Pertamina juga tengah menyiapkan kilang yang akan memproduksi BBM Euro 4. Salah satunya proyek Langit Biru Cilacap di Kilang Tuban yang akan selesai dan beroperasi pada Desember tahun ini. Alhasil mau tak mau kilang Cilacap tidak bisa lagi memproduksi Premium yang tergolong Euro 2.