Kondisi industri minyak dan gas bumi/migas dianggap sudah masuk dalam tahap darurat. Untuk itu, perlu ada terobosan untuk menggairahkan kembali kondisi tersebut.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode tahun 2006 hingga 2009 Ari Soemarno mengatakan iklim investasi memburuk sejak terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Terbitnya aturan itu mengubah kontrak yang awalnya menggunakan skema antar pelaku bisnis (business to business/b to b) menjadi pemerintah dan pelaku bisnis (government to business/ g to b).
Dengan berubahnya subyek dalam kontrak tersebut, kontraktor juga menjadi sasaran pajak. Kemudian, kontraktor mengurus sendiri mengenai perizinan. Hukum perdata juga menjadi tidak berlaku, sehingga bisa menciptakan kriminalisasi.
Sejak saat itu, investasi sektor migas di Indonesia menjadi tidak menarik. Ujungnya, tahun lalu, investasi untuk eksplorasi hanya US$ 180 juta. Ini menunjukkan kepercayaan investor di Indonesia turun.
Menurut Ari, pemerintah tidak bisa beralasan menurunnya eksplorasi akibat anjloknya harga minyak dunia. Buktinya ketika harga minyak dunia masih berada di level US$ 100 per barel tahun 2014, investasi eksplorasi turun 21% menjadi US$ 1,1 miliar dibandingkan tahun 2013 yang harga minyaknya masih US$ 90 per barel. “Jadi memang sudah kondisi darurat investasi," kata dia di Jakarta, Rabu (28/2).
Menurunnya minat eksplorasi itu berpengaruh terhadap tingkat penemuan cadangan. Indonesia menjadi negara dengan tingkat penemuan cadangan baru migas terendah di ASEAN sejak tahun 2003 hingga 2013. Capaian itu bahkan lebih rendah dari Brunei Darussalam.
Rasio sukses penemuan cadangan migas juga menjadi lebih lama. Empat puluh tahun lalu, satu blok migas hanya membutuhkan waktu empat tahun mulai eksplorasi hingga produksi. Saat ini, butuh 10 hingga 15 tahun untuk mencari migas.
Belum lagi cadangan migas Indonesia kini didominasi gas. Sehingga perlu infrastuktur gas yang mumpuni untuk dapat mengolah gas seperti fasilitas gas alam cair (LNG) dan pipa agar dapat dinikmati masyarakat.
Produksi minyak di Indonesia, saat ini hanya di kisaran 800 ribu barel per hari/bph. Ini pun tertolong adanya Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu yang produksinya sekitar 200 ribu bph.
Tak hanya hulu, kondisi hilir migas juga tidak berkembang setelah UU Nomor 22 tahun 2001 terbit. Ini terlihat dari kapasitas tanki BBM yang tidak mengalami peningkatan. "Ini sudah darurat, hilir ini untuk menjaga ketahanan energi," kata Ari.
Untuk menggairahkan kembali iklim investasi, Ari mengajukan sejumlah solusi. Pertama, revisi UU Migas tidak boleh sama dengan yang lama. Terkait Badan Usaha Khusus Migas yang ada di RUU Migas, Ari menyerahkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat/DPR. Namun tidak tertutup peluang Pertamina menjadi perusahaan yang memimpin BUK Migas.
Kedua, memberikan fleksibilitas kepada investor untuk dapat memilih skema kontrak hulu migas. "Jadi menurut saya peluang harus dibuka mau gross split, cost recovery, dan royalti and tax," kata Ari.
Ari juga mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan Perppu mengenai Migas. Ini karena sudah sejak 2010, RUU Migas tidak selesai.
Jadi pemerintah, jangan hanya duduk di kursi belakang melihat kondisi yang ada. “Saya katakan di tahun 2014, kalau bisa dibikin Perppu dulu, karena nunggu DPR pendapatnya banyak kepentingan politiknya,” ujar Ari.
Namun, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Susyanto, saat ini belum perlu Perppu. “Perppu itu kalau negara dalam keadaan genting, tapi kondisi saat ini investasi masih ada," kata dia.
Pemerintah juga tidak hanya berdiam diri. Tahun 2015 lalu, pemerintah sudah mengajukan inisiatif pembentukan RUU Migas. Ini diambil untuk mempercepat dan mendorong investasi migas.
Akan tetapi, niat pemerintah itu dimentahkan DPR. “Kami sudah berupaya maksimum, sudah mencoba mau ambil alih tapi ditolak," ujar Susyanto.
Sementara itu, Wakil Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan draf RUU Migas hingga kini masih tertahan di Badan Legislasi (Baleg). Pembahasan RUU Migas buntu karena belum ada kesamaan definisi antara Komisi VII yang membidangi energi dan Komisi VI yang membidangi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengenai BUK Migas.
Agar hal ini tidak berlarut, Satya mengatakan pihaknya sudah mencoba berkonsultasi dengan pimpinan tinggi DPR. "Nanti kami selesaikan dengan difasilitasi ketua DPR. Laporan informal sudah kami sampaikan ke ketua DPR mengenai draf UU Migas," kata Satya.
(Baca: Penyusunan RUU Migas Terkendala Definisi Badan Usaha Khusus)
Dalam pembahasan RUU Migas dengan ketua DPR itu, juga akan menyelaraskan BUK Migas dengan konsep induk usaha (holding) migas yang juga diinisiasi Kementerian BUMN. Dengan begitu, RUU Migas tidak terkatung-katung lagi.