Penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik/RUPTL periode 2018 hingga 2027 telah selesai. Salah satu isi RUPTL itu adalah memangkas porsi pembangkit listrik dari sumber Energi Baru Terbarukan/EBT.
Kepala Divisi EBT PLN Tohari Hadiat mengatakan dalam RUPTL itu pembangkit dari sumber EBT hanya 14 ribu megawatt (MW). Padahal dalam RUPTL 2017 hingga 2026, target pembangkit EBT bisa mencapai 21 ribu MW.
Alasan memangkas porsi pembangkit EBT itu adalah permintaan listrik yang rendah. Di RUPTL sebelumnya permintaan listrik dipatok 8%, sehingga total pembangkit listrik yang dibutuhkan mencapai 78 ribu MW. Namun di RUPTL 2018-2027 total pembangkit listrik pun susut menjadi 56 ribu MW dengan asumsi permintaan listrik 5%.”Dari 56 ribu MW itu, EBT-nya 14 ribuan MW." kata dia di Jakarta, Kamis (22/2).
Tohari mengatakan dari 14 ribu MW total pembangkit EBT dalam RUPTL itu ada yang sudah berkontrak (PPA), ada yang belum berkontrak. Namun, ada juga yang masih menyelesaikan skema pemenuhan pembiayaan (financial close).
Meski tak masuk RUPTL periode ini, bukan berarti pembangkit EBT 7 ribu MW itu dihapus permanen. Sebab pembangunannya akan dimulai ketika permintaan listrik sudah tinggi alias digeser ke tahun berikutnya.
Namun, Tohari belum mau mendetailkan pembangkit EBT mana saja yang digeser pembangunannya. "Jadi ada daftar tunggu," kata dia.
Pemangkasan itu juga untuk menghindari kerugian PLN. Kerugian ini bisa muncul jika pembangkit yang sudah dibangun itu, listriknya tidak bisa diserap karena konsumsi turun akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Adapun pada RUPTL 2018-2026, Tohari mengatakan bahwa sebanyak 512 MW pembangkit listrik EBT akan beroperasi tahun ini. "Kalau lihat di RUPTL operasinya di 2018," ujar Tohari.
(Baca: Harga Murah, Pertamina Tak Tertarik Jual Listrik dari Pembangkit Surya)
Tohari mengatakan dokumen yang memuat peta jalan pembangunan listrik oleh PLN itu kini sudah di meja Menteri ESDM Ignasius Jonan. Jadi tinggal menunggu untuk segera diteken.