Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar berharap skema kontrak bagi hasil gross split bisa menjadi solusi dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas adanya penyimpangan cost recovery. Dengan skema itu kontraktor migas akan terhindar dari audit BPK.
Apabila kontraktor menggunakan skema gross split, maka seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan operasional migas tidak lagi ditanggung negara. Mereka akan menanggung biaya itu secara mandiri.
Tidak adanya uang yang harus ditanggung negara itu, maka lembaga negara tidak berhak lagi mengaudit. "Ini akan lebih memudahkan, kalau sekarang kan audit kan," kata dia di Jakarta, Kamis (5/10).
Namun, sampai saat ini Arcandra belum mau mengomentari hasil pemeriksaan dari BPK mengenai skema bagi hasil. Selain itu juga masih enggan membicarakan tindak lanjut dari Kementerian ESDM atas audit tersebut.
Sebagaimana diketahui, BPK menemukan adanya kehilangan penerimaan negara sebesar US$ 1,17 miliar atau sekitar Rp 15,79 triliun dari sektor migas. Temuan itu berdasarkan pemeriksaan atas pendapatan negara dari perhitungan bagi hasil migas tahun 2015 pada SKK Migas dan KKKS.
Dalam pemeriksaan itu, BPK menemukan dua faktor yang menyebabkan negara kehilangan penerimaan US$ 1,17 miliar atau sekitar Rp 15,79 triliun. Pertama, adanya pembebanan biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam cost recovery, dengan nilai US$ 956,04 juta atau Rp 12,9 triliun.
Kedua, terdapat 17 KKKS ataupun working interest (mitra) yang belum menyelesaikan kewajiban pajaknya sampai dengan tahun pajak 2015 sebesar US$ 209,25 juta atau Rp 2,8 triliun. Ketiga, negara juga kehilangan potensi dari pengenaan denda atau bunga, minimal untuk tahun pajak 2015, senilai US$ 11,45 juta.