Pelaku industri minyak dan gas bumi (migas) mengusulkan agar penentuan besaran bagi hasil dalam skema gross split tidak sama rata untuk semua lapangan. Ini terkait rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.

Presiden Direktur MedcoEnergi Hilmi Panigoro mengatakan pada prinsipnya konsep gross split cukup menarik bagi kontraktor migas. Namun ada catatan juga dalam skema itu agar bisa lebih menarik bagi investor.

(Baca: Revisi Gross Split, Kementerian ESDM Libatkan 4 Lembaga Internasional)

Salah satunya adalah penerapan bagi hasilnya lebih fleksibel. "Split-nya sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi keekonomian lapangan migas," kata dia kepada Katadata, Rabu (23/8).

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong juga menyatakan hal yang sama. Revisi aturan gross split diharapkan dapat memperhatikan karakterisitik keekonomian masing-masing lapangan migas. Apalagi  tingkat kesulitas lapangan tersebut berbeda.

Jadi aturan itu nantinya dapat memberikan ruang bagi pemerintah meningkatkan keekonomian suatu lapangan jika diperlukan. "Apapun perubahannya, kiranya  bisa membuat daya saing Indonesia terhadap negara-negara lain meningkat," kata Marjolijn.

(Baca: Empat Poin Revisi Aturan Skema Kontrak Migas Gross Split)

Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam merevisi aturan gross split. Pertama, pemerintah perlu membuka ruang negosiasi mengenai besaran bagi hasil migas dalam skema gross split

Kedua, pemerintah perlu konsisten dalam hal mengatur penggunaan sistem gross split terkait proses pengadaan dan kepemilikan aset kontraktor. Seharusnya aset yang sudah dipakai kontraktor sejak eksplorasi hingga kontraknya selesai tetap menjadi milik kontraktor.

Namun dalam aturan yang masih berlaku sampai saat ini, kenyataannya berbeda. Pasal 21 menyebutkan seluruh barang dan peralatan yang secara langsung dipakai pada kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik negara.

(Baca: Kuasai Aset Migas, Pemerintah Dinilai Tak Konsisten Pakai Gross Split)

Ketiga ialah kontrak gross split dijadikan sebagai opsi. Artinya kontraktor bisa memilih skema tersebut atau kontrak bagi hasil konvensional. "Jangan dipaksa untuk diterapkan di semua lapangan," kata Pri Agung.