Pemerintah meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) menalangi subsidi listrik sebesar Rp 5,6 triliun. Ini karena permintaan tambahan subsidi listrik ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017, subsidi listrik hanya dipatok Rp 45,4 triliun dari sebelumnya Rp 45 triliun. Padahal ada 2,24 juta pelanggan 400 Volt Ampere (VA) yang seharusnya masih layak menerima subsidi tapi sudah tercabut. Nilai pembayaran kembali kepada pelanggan tersebut mencapai Rp 1,7 triliun.

(Baca: Tarif Listrik Tetap Sampai Akhir 2017, Subsidi Bengkak Jadi Rp 52,3 T)

Selain penggantian kepada pelanggan rumah tangga berdaya 900 VA yang subsidi dicabut, PLN juga akan menalangi Rp 3,9 triliun akibat tidak jalannya pembatasan subsidi listrik untuk pelanggan 450 VA. Sehingga total yang akan diganti pemerintah tahun depan mencapai Rp 5,6 triliun.

Direktur Jenderal Ketenagakelistrikan Kementerian Andy Noorsaman Sommeng mengatakan subsidi ke masyarakat yang berhak tetap berjalan. Nanti akan ditalangi PLN, dan diganti melalui anggaran tahun depan. “Pembayaran subsidi yang di-carry over adalah pembayaran pemerintah ke PLN,” kata dia kepada Katadata beberapa waktu lalu.

Menurut Kepala Satuan Komunikasi PLN I Made Suprateka, selisih anggaran yang harus ditanggung PLN itu tidak signifkan dan masih terjangkau oleh keuangan perusahaan. “Tidak ada masalah, kami bilang aman," kata dia di Jakarta, Senin (7/8).

(Baca: PLN Kantongi Restu Pemerintah Miliki Tambang Batubara)

Namun, untuk berjaga-jaga, PLN juga akan melakukan upaya seperti melakukan pinjaman, baik dari Jepang maupun Tiongkok. Namun dalam hal ini PLN belum memutuskan berapa jumlah dana yang ingin didapatkan dari hasil pinjaman tersebut.

Yang jelas ada beberapa persyaratan yang diajukan, PLN dalam upaya meminjam dengan lembaga pembiayaan asing. Syarat tersebut adalah jangka waktu, harga yang paling murah, syarat dan ketentuan pinjaman yang bagus.

(Baca: PLN Targetkan Raup Rp 10 Triliun dari Sekuritisasi Aset)

Menurut Made, Jepang dan Tiongkok memiliki karakteristik persyaratan yang berbeda. Pinjaman dari Jepang, bisa lebih murah namun harus ada jaminan dari pemerintah. Sementara dari Tiongkok, tanpa ada persyaratan jaminan dari pemerintah. "Nah ini perlu kami lihat siapa negara yang cocok jadi pendonor yang lebih baik," kata dia.