ExxonMobil telah menyatakan tidak melanjutkan investasi di Blok East Natuna. Namun keputusan tersebut tidak tiba-tiba dan melalui beberapa proses. Apalagi perusahaan tersebut sudah memegang hak pengelolaan sejak tahun 1980.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menganggap keputusan Exxon tersebut adalah sebuah kabar baik untuk Indonesia. Alasannya sampai sejauh ini masih ada perbedaan pandangan antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil mengenai status East Natuna.
(Baca: Jonan: Exxon Tak Lanjutkan Investasi di Blok East Natuna)
Pemerintah menganggap kontrak ExxonMobil telah dihentikan karena tidak menggarap proyek tersebut. Namun, perusahaan asal Amerika Serikat ini menganggap ada yang belum jelas yang ada di dalam kontrak East Natuna.
“Kalau liat kontrak selama ini, mereka berhak mengelola East Natuna ini yang sebelumnya Natuna D Alpha, kemudian jadi East natuna. Blok D Alpha menjadi bagian East Natuna,” kata Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/7).
Seiring berjalannya waktu, menurut Arcandra, pemerintah ingin mengembangkan East Natuna. Untuk itu dirinya memanggil manajemen Exxon Agustus 2016 lalu untuk mempertanyakan nasib blok migas yang terletak di perbatasan Laut Cina Selatan tersebut.
Dalam proses negosiasi itu, akhirnya pernah tercapai kesepakatan mengenai porsi bagi hasil migas. Saat itu, pemerintah tidak mendapatkan apa pun. Sedangkan kontraktor mendapatkan 100 persen produksi migas.
Ketika itu ada tiga kontraktor yang akan mengembangkan Blok East Natuna. Mereka yakni PT Pertamina (Persero) dan ExxonMobil masing-masing sebesar 42,5%. Sisanya adalah PTT EP, perusahaan migas asal Thailand.
Namun pada Januari 2017, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Syamsu Alam mengatakan PTT EP hanya memiliki hak kelola 10 %. Sementara Exxon dan Pertamina memegang masing-masing 45%.
Di awal tahun 2017 juga, pemerintah menginginkan proyek itu segera dikerjakan. Namun, sebelum itu dilakukan kajian teknologi dan pasar (technology and market review/TMR).
Menurut Arcandra, sebelum TMR ini seharusnya ada kontrak yang ditandatangan. Singkat cerita pemerintah kembali bernegosiasi. Hasil negosiasi tersebut tetap sama, yakni negara hanya mendapatkan pajak sekitar 40%, sementara produksi migas semuanya untuk kontraktor.
(Baca: Menyusul Exxon, PTT EP Hengkang dari East Natuna)
Kemudian dalam perjalanannya, pemerintah mengirimkan surat kepada ExxonMobil meminta kembalikan Blok East Natuna ke Pertamina. “Jadi jalan yang ditempuh adalah negosiasi tidak konfrontasi. Ini positif, kami bekerja dengan baik dengan Exxon,” ujar Arcandra.
Setelah surat tersebut dikirimkan petinggi ExxonMobil dari Houston, Amerika Serikat yakni Mike Albert meminta klarifikasi kepada pemerintah dengan datang ke Indonesia. Dari pertemuan tersebut, sebenarnya Exxon sudah menganggap Blok East Natuna tidak masuk portofolio mereka karena kadar karbon dioksida yang mencapai 72% sehingga tidak ekonomis.
Mendengar hal tersebut, pemerintah meminta Exxon mengembalikan blok tersebut ke PT Pertamina (Persero) jika tidak ada perkembangan. Setelah melakukan kajian TMR, akhirnya mereka menyerahkan ke Pertamina.
“Ini usaha win-win, Exxon tidak ingin menghambat, silahkan pemerintah Indonesia kembangkan,” ujar Arcandra. “Jadi tidak ada lagi dispute ini milik siapa. Ini lompatan besar pengelolaan East Natuna,”.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, ExxonMobil keluar dari konsorsium karena tidak mau menghalangi niat pemerintah mempercepat Blok East Natuna. Apalagi blok tersebut tidak ekonomis menurut kajian TMR. (Baca: ExxonMobil Tawarkan Teknologi Berbiaya Besar untuk East Natuna)
Adapun dalam kajian TMR itu yang membuat proyek tersebut adalah biaya yang mahal sehingga harga gas menjadi tinggi. Harga gas hulunya diperkirakan tembus sekitar US$ 15-18 per mmbtu. “Selain itu terdapat faktor politis yang juga membuat Exxon memilih mundur dari blok tersebut,” ujar sumber Katadata.