Setelah Exxon, perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTT EP) menyatakan mundur dari konsorsium di Blok East Natuna. Pertimbangannya adalah keekonomian di blok tersebut.

General Affair Manager PTT EP di Indonesia Afiat Djajanegara mengatakan blok tersebut sulit mencapai keekonomian karena harga gas. Berdasarkan hasil kajian teknologi dan pasar (technology and market review/TMR) harga gas itu bisa di atas US$ 10 per mmbtu. Sementara di Indonesia rata-rata di level US$ 6 per mmbtu.

(Baca: ExxonMobil Tawarkan Teknologi Berbiaya Besar untuk East Natuna)

Atas dasar itu lah menilai Blok East Natuna tidak ekonomis, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan investasinya. Keputusan ini pun segera disampaikan ke pemerintah. “Jadi lebih berdasarkan ke keekonomian,” kata Afiat kepada Katadata, Jumat (21/7).

Sementara itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja juga membenarkan rencana PTT EP tersebut. Hanya, perusahaan asal Thailand itu belum menyampaikan resmi ke pemerintah. “Belum,” kata dia kepada Katadata, Jumat (21/7). 

(Baca: Exxon Hengkang, Pengembangan Blok East Natuna Berpotensi Gagal)

Di sisi lain, pemerintah kata Wiratmaja masih menunggu hasil TMR yang dilakukan konsorsium Blok East Natuna. Setelah itu akan disiapkan berbagai alternatif skema pengembangan blok tersebut untuk diusulkan kepada pimpinan.

Hengkangnya PTT EP ini membuat PT Pertamina (Persero) satu-satunya kontraktor yang berada di konsorsium. Sebelum PTT EP, ExxonMobil yang merupakan anggota konsorisum juga mengajukan mundur dari Blok East Natuna.

(Baca: Jonan: Exxon Tak Lanjutkan Investasi di Blok East Natuna)

Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Erwin Maryoto mengatakan telah berkirim surat kepada Menteri ESDM untuk menyampaikan hal itu. “Setelah menyelesaikan TMR, kami menyampaikan tidak berkeinginan untuk meneruskan diskusi dan kegiatan terkait East Natuna,” ujar dia kepada Katadata, beberapa waktu lalu.