Pemerintah tidak akan memberikan insentif pajak kepada semua blok minyak dan gas bumi (migas) yang sudah berproduksi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 tahun 2017 mengenai perpajakan dan biaya yang dikembalikan (cost recovery).
Sekretaris Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Susyanto mengatakan pemerintah memberikan insentif perpajakan hanya kepada blok yang memiliki keekonomian rendah. Jadi blok yang sudah ekonomis, tidak perlu lagi mendapatkan fasilitas perpajakan.
(Baca: Aturan Baru, Kontraktor Migas Nikmati Insentif Pajak Sejak Eksplorasi)
Alasan tidak memberikan insentif kepada semua blok itu karena pemerintah juga menjaga penerimaan negara. "Ini artinya win-win. Kalau sudah ekonomis lalu ditambah lagi, kami kan butuh penerimaan negara juga," kata Susyanto di Kementerian ESDM, Rabu (19/7).
Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Parulian Sihotang mengatakan untuk mendapatkan insentif perpajakan, blok produksi ini akan terlebih dulu dievaluasi Kementerian ESDM dan Keuangan. “Tidak sembarangan. Kami tidak mau kontraktor dapat super normal profit," kata dia.
Adapun fasilitas perpajakan yang bisa dinikmati kontraktor diantaranya pembebasan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan Bea Masuk. Selain itu mendapatkan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 100% dari yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) selama masa eksplorasi.
Selain itu ada insentif lainnya yakni investment credit, pembebasan kewajiban menjual migas ke dalam negeri (DMO holiday), dan percepatan depresiasi. Investment credit adalah tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan migas tertentu.
(Baca: Aturan Baru Soal Pajak Migas Belum Beri Kepastian Bagi Investor)
Terkait pengembalian biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor, menurut Parulian, aturan ini sudah lebih tegas dibandingkan sebelumnya. Salah satunya adalah biaya yang terkait dengan aktivitas pemrosesan Gas Bumi sampai dengan titik penyerahan.
Pada aturan lama hanya menyebut biaya pemprosesan gas bumi, sehingga menjadi ketidakpastian bagi investor. “Kami ingin mempertegas biaya pemprosesan gas bumi. Jadi biaya yang terpakai untuk proses gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG)," ujar Parulian.
Sementara itu Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak Yunirwansyah menjanjikan aturan turunan dari PP 27/2017 akan terbit dalam waktu dekat. Aturan itu akan mengatur secara detail fasilitas perpajakan yang dapat diperoleh kontraktor dalam masa eksplorasi dan eksploitasi. Dengan begitu investasi kembali bergairah.
(Baca: Impor Minyak Berpotensi Membengkak, Target RUEN Terancam)
Apalagi pencarian migas di Indonesia semakin sulit. Dari data Kementerian Keuangan pada tahun 2003-2012, untuk menghasilkan 3,5 milyar barel setara minyak (boe), kontraktor harus mengebor hampir 500 sumur. Padahal di Vietnam, lebih dari 100 sumur. Sedangkan di Malaysia, untuk menghasilkan 6-7 milyar boe hanya melakukan pengeboran kurang dari 300 sumur.