Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sepakat untuk tidak mengubah produksi siap jual (lifting) minyak dan gas bumi (migas) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017. Sedangkan asumsi harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) naik jadi US$ 46 per barel dari sebelumnya US$ 45 per barel.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan pihaknya sepakat dengan masukan pemerintah terkait asumsi lifting migas yang tetap pada APBNP 2017. "Kami setujui lifting migas tetap," kata dia dalam pembahasan asumsi dasar sektor ESDM pada RAPBN-P 2017 di Jakarta, Senin (10/7). (Baca: Lifting Minyak dan Gas Bumi Semester I 2017 Turun
Alhasil lifting migas pada APBNP 2017 tahun ini sebesar 1.965 ribu BOEPD. Rinciannya 815 ribu barel per hari (bph) minyak dan 1.150 ribu barel setara minyak per hari (bsmph) untuk gas.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan ada beberapa alasan pemerintah tidak menaikkan asumsi lifting migas pada APBNP 2017. Salah satunya adalah kendala teknis dan ganggguan di lapangan, sehingga beberapa blok migas tidak bisa mencapai target seperti Blok Rokan yang dikelola Chevron.
Padahal Blok Rokan merupakan penyumbang terbesar produksi minyak bumi. Tahun ini target mencapai 227.600 barel per hari (bph), sesuai rencana kerja dan anggaran (RKA).
Selain Rokan, ada Blok Cepu yang dikelola ExxonMobil. Namun saat ini rata-rata produksi minyak Cepu sudah mencapai 206 ribu bph, meningkat dari awal tahun ini yang baru mencapai 180 ribu bph.
Meski tidak ada kenaikan pada target APBNP, Jonan optimis lifting gas bumi bisa mencapai hal itu bahkan lebih tinggi. Apalagi terdapat tambahan produksi gas seperti dari Blok Muara Berau untuk proyek Jangkrik yakni sebesar 450 mmscfd.
(Baca: Dua Bulan Beroperasi, Proyek Gas Jangkrik Capai Puncak Produksi)
Di sisi lain untuk ICP, DPR dan Kementerian ESDM menyepakati US$ 46 per barel pada APBNP 2017. Menurut Jonan, tren harga minyak dunia selama enam bulan terakhir mengalami penurunan. Itu menjadi dasar mematok di kisaran US$ 45-50 per barel.
Selain itu jika mematok ICP terlalu tinggi, khawatir target tersebut tidak akan tercapai. “Kalau ICP tinggi takutnya tidak tercapai di akhir tahun," ujar Jonan.