Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengkhawatirkan adanya peningkatan jumlah biaya operasional yang harus diganti (cost recovery) tahun ini. Penyebabnya adalah lonjakan cost recovery di Blok Mahakam dan Lapangan Jangkrik.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan cost recovery dari Blok Mahakam berpotensi membengkak karena pemerintah menyetujui percepatan masa depresiasi. Depresiasi dipercepat karena kontrak blok tersebut akan berakhir dan Total E&P tidak diperpanjang.

(Baca: SKK Migas Hemat Cost Recovery Hingga Rp 720 Miliar dari Transfer Aset)

Dengan percepatan masa depresiasi itu maka pemerintah harus mengganti cost recovery Blok Mahakam sebesar US$ 900 juta. “Jadi semua pengeluaran investasi Blok Mahakam yang belum di-cost recovery, akhir tahun ini seluruhnya dibebankan,” kata Amien di Kantor SKK Migas, Jakarta, Kamis (6/7).

Selain itu, cost recovery tahun ini berpotensi meningkat karena ada tambahan dari Lapangan Jangkrik yang sudah berproduksi di Mei lalu. Jadi pemerintah harus mengganti biaya membangun fasilitas produksi sejak 2014 hingga 2016 melalui depresiasi.  

Meski belum menyebut secara detail besarannya , menurut Amien, cost recovery lapangan tersebut tahun ini lebih kecil di bawah Blok Mahakam. “Pembebanan pertama di 2017. Karena perhitungan selesai November, maka masuk cost recovery sekitar November dan Desember,” ujar dia.

Proyek Jangkrik ini terdiri dari dua lapangan yakni Lapangan Jangkrik dan Lapangan Jangkrik North East. Nilai proyeknya mencapai US$ 4,2 miliar. (Baca: Dihadiri Jonan, ENI Rampungkan Produksi Terapung Migas Terbesar)

Sejak awal Januari hingga akhir Juni lalu, SKK Migas mencatat cost recovery mencapai US$ 4,87 miliar. Rinciannya US$ 2,36 miliar untuk biaya operasi. Kemudian US$ 1,38 miliar dialokasikan untuk biaya depresiasi. Sisanya ada untuk administrasi, eksplorasi dan pengembangan, biaya tidak tertanggung, investment credit.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, dana cost recovery yang dialokasikan sebesar US$ 10,4 triliun, Nilainya lebih tinggi 24 persen dibandingkan alokasi dalam APBN-Perubahan 2016 yang sebesar US$ 8,4 miliar. “Ini mengkhawatirkan, buat kami deg-degan,” ujar Amien.