Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat tiga kontraktor blok migas nonkonvensional telah beralih menggunakan skema kontrak gross split. Alasannya, skema baru itu dianggap efisien dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Deputi Pengendalian dan Pengadaan SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan perubahan kontrak tiga blok migas tersebut sudah ditandatangani. "Kontraknya sudah pindah ke gross split. Bahkan sudah mulai mengebor lagi," kata dia di Jakarta, Rabu (7/6). (Baca: Tak Masuk RUU Migas, Sistem Gross Split Masih Dapat Diterapkan)

Ketiga kontrak blok tersebut yakni Blok Kapuas III di Kalimantan Tengah yang dioperatori oleh Konsorsium PT Gas Methan Utama - BP Kapuas III Limited. Kedua, Blok Barito di Kalimantan Selatan dioperatori oleh konsorsium PT Trans Asia Resources-PT Jindal Stainless Indonesia.

Ketiga, Blok Kotabu berada di Kalimantan Selatan, dioperasikan oleh  PT Satui Basin Gas.

Djoko mengatakan, status ketiga blok tersebut  saat ini menjalani masa eksplorasi selama enam tahun. Permintaan perpanjangan masa eksplorasi selama empat tahun kepada pemerintah pada tahun ini, dijadikan momentum untuk mengubah kontrak menjadi gross split

Dengan memakai skema gross split, Djoko mengatakan, kontraktor tiga blok nonkonvensional bisa melakukan pengadaan barang dan jasa secara mandiri. Alhasil, mereka bisa memilih harga yang lebih murah untuk proyek yang dijalankannya.

(Baca: Proyek Migas Pakai Komponen Lokal, Bagi Hasil Gross Split Bertambah)

Selain proses pengadaan yang lebih cepat, Djoko mengaku kontraktor tiga blok tersebut juga tertarik dengan penawaran bagi hasil  di dalam kontrak gross split. Apalagi di dalam komponen variabel bagi hasil (split) menyatakan, jika suatu wilayah kerja berupa blok migas non konvensional maka langsung mendapatkan penambahan bagi hasil sebesar 16 persen.

Dengan begitu, kontraktor sudah mendapatkan bagi hasil sebesar 63 persen. Menurut Djoko, porsi tersebut sudah ekonomis untuk kontraktor CBM dalam mengembangkan wilayah kerjanya.

Selain ketiga kontraktor tersebut, Djoko mengatakan sebenarnya masih ada perusahaan yang ingin mengubah skema kontraknya menjadi gross split, yakni PT Medco Energi Internasional Tbk. Perusahaan milik Arifin Panigoro ini sempat mengajukan perubah ankontrak blok CBM miliknya menjadi gross split.

(Baca: Medco Anggap Sistem Gross Split Tak Ekonomis di Beberapa Bloknya)

Namun, Medco terlambat mengajukan amendemen kontraknya kepada pemerintah. "Ada masalah administrasi waktu itu yang belum selesai, nanti mungkin bisa dia ajukan lagi," kata Djoko.