Transparency International Indonesia (TII) menilai keterbukaan mengenai detail Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi bisa mencegah potensi korupsi di sektor pertambangan. Keterbukaan informasi membuat masyarakat bisa ikut mengawasi tindak penyimpangan yang berpotensi terjadi.
Peneliti TII Karunia Fajarrini mengakui daftar pemenang atau pemegang IUP telah tersedia di situs Kementerian ESDM. Namun, tidak ada informasi mengenai detail izin dan pemilik perusahaaan. Seharusnya ada informasi detail meliputi koordinat lokasi perusahaan, tanggal pemberian dan batas akhir IUP, kewajiban terhadap lingkungan dan sosial, serta jenis komoditas dan berapa besar potensinya.
“Kurangnya transparansi mengenai detail IUP bisa menciptakan peluang bagi pertambangan ilegal seperti pertambangan di luar wilayah kerjanya atau menambang komoditas lain,” kata Karunia dalam paparannya terkait laporan riset penilaian risiko korupsi pada proses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi, Rabu (7/6). (Baca: Lewat Portal Peta, Jonan Buka Data Energi dan Minerba ke Publik)
Bukti kurangnya transparansi mengenai detail IUP yang menjurus ke tindak korupsi tercermin dari investigasi organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Timur pada 2014. Organisasi yang tak disebutkan namanya ini menemukan wilayah yang luasnya melebihi Kota Samarinda, dimiliki oleh dua orang saja.
Padahal informasi yang ada menunjukkan wilayah kerja tambang itu dimiliki sekitar 11 orang, dengan perusahaan yang dipalsukan. Identitas asli pemegang IUP ini akhirnya terbongkar setelah ada investigasi dan perkaranya berakhir di penegakan hokum. Kemungkinan banyak kejadian serupa di lokasi laintapi kan bisa jadi masih banyak kejadian serupa yang belum diketahui, karena belum ada investigasi,” ujarnya.
Kurnia mengungkapkan sebagian pengusaha kerap mempertanyakan aspek hukum atas keterbukaan informasi mengenai IUP secara detail. “Hasil wawancara dengan pemangku kepentingan, transparansi pemilik perusahaan ini sangat menjadi perhatian mereka,” katanya.
TII juga melansir penilaian risiko korupsi pada proses pemberian IUP Eksplorasi dan berhasil mengidentifikasi celah kerawanannya. Salah satunya berkaitan dengan ketidakjelasan penerapan lelang akibat kekurangpahaman pejabat pemerintah dan perusahaan pertambangan tentang tahapan lelang.
Laporan TII mencatat kriteria pemberian IUP Eksplorasi, termasuk tahapan pelelangan, tidak dipahami secara jelas oleh pejabat pemerintah dan perusahaan pertambangan. Risiko yang muncul adalah ketidakpastian dalam proses lelang dan penentuan kriteria, sehingga berpotensi merusak hasil dan sistem lelang.
(Baca: Perusahaan Migas dan Tambang yang Transparan Akan Dapat Insentif)
Menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, proses memperoleh IUP Eksplorasi dimulai dari penentuan wilayah (WIUP), dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang WIUP. Namun, biasanya banyak pertanyaan muncul sebelum proses lelang. Menurut Karunia, seharusnya WIUP diumumkan tiga bulan sebelum lelang dengan disertai sejumlah persyaratan wajib, seperti kemampuan finansial.
Hasil riset TII juga menemukan ternyata banyak WIUP yang diusulkan oleh pengusaha, lantaran mereka lebih tahu potensi wilayah setempat. Usulan ini disampaikan kepada pemerintah provinsi yang kemudian diteruskan pemerintah pusat untuk melelang wilayah tersebut.
Karunia menilai sengkarut penerapan lelang ini terjadi karena belum adanya prosedur praktis mengenai penentuan wilayah kerja tambang, teknis lelang WIUP, dan penerbitan IUP. Sehingga muncul kerawanan pemerintah daerah mengeluarkan peraturan sendiri berdasarkan interpretasinya terhadap UU Minerba.
“Padahal, ketika prosedur dan informasi terkait pemberian IUP ini jelas dan diketahui publik, pemerintah bisa lebih percaya diri dan kompeten dalam melakukan tugasnya. Masyarakat juga bisa berpartisipasi aktif dalam pengawasan atas potensi penyimpangannya,” ungkap Karunia.
Sementara Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan urusan sumber daya alam menyimpan potensi korupsi yang sangat serius. Makanya, TII melakukan riset khusus yang berfokus pada proses perizinan pertambangan. Riset ini dilakukan selama kurang lebih enam bulan.
Riset ini adalah fase pertama yang akan dilanjutkan dengan upaya menindaklanjuti hasil temuannya sebagai fase kedua. Untuk fase kedua, TII akan berkoordinasi dengan lembaga terkait dengan harapan ada dorongan kolektif untuk perubahan sistem yang bisa mencegah tindak korupsi khususnya di sektor pertambangan.
“Riset serupa juga dilakukan TI (Transparency International) secara serentak di Asia Pasifik, Afrika dan Amerika, jadi problem (pertambangan) ini bukan hanya di Indonesia,” katanya.
Riset TII ini berfokus pada IUP Eksplorasi pertambangan mineral dan batubara. Penelitian ini menghasilkan tiga prioritas perbaikan: transparansi informasi mengenai IUP dan identitas pemilik; penguatan kerangka peraturan hingga prosedur (SOP); dan penegakan hukum.