Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim skema gross split minyak dan gas bumi (migas) tetap menarik bagi investor untuk menggunakan produk lokal. Alasannya, dengan skema ini investor akan memperoleh tambahan bagi hasil jika menerapkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, jika tidak mau menggunakan produk lokal maka kontraktor migas akan kehilangan kesempatan memperoleh tambahan bagi hasil. Ia mencontohkan, jika ada kontraktor migas mendapatkan penerimaan dari gross split sebesar US$ 10 miliar dan memakai TKDN sebesar 30 persen maka akan ada tambahan sekitar US$ 200 juta. "Kan untung dapat segitu," kata dia di Jakarta, Senin (8/5).

(Baca: Klaim Pemerintah Soal Efisiensi Gross Split Migas Dipertanyakan)

Besaran tambahan bagi hasil itu mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Aturan itu menyebutkan jika kontraktor migas memakai TKDN sebesar 30-50 persen maka mendapat tambahan bagi hasil 2 persen. Sementara jika 50-70 persen mendapat tambahan 3 persen, dan 70-100 persen TKDN mendapat tambahan bagi hasil 4 persen.

Dengan formula seperti itu, Arcandra menjamin kontraktor tetap diuntungkan jika memakai produk lokal ketika beroperasi. Apalagi formula itu sudah diuji coba terhadap beberapa blok besar di Indonesia, seperti Blok Rokan, Blok ONWJ, Tangguh, Banyu Urip, Natuna, dan West Seno.

Lapangan tersebut telah dihitung keekonomiannya terhadap  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta penerimaan pajak yang didapat pemerintah. "Belum ada yang datang ke saya bilang gross split tidak mencapai keekonomiannya," ujar dia. (Baca: Mengukur Manfaat Skema Baru Gross Split bagi Negara)

Di sisi lain, Arcandra meminta industri penunjang migas di dalam negeri bersiap menghadapi adanya skema gross split. Dengan skema ini, kontraktor bebas melakukan pengadaan barang dan jasa, tanpa harus melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Wargono Soenarko mengatakan, dampak nyata skema gross split terhadap industri penunjang baru terasa tiga tahun ke depan. Penyebabnya dalam waktu dekat belum bakal ada kontraktor yang menerapkan skema itu.

Salah satu kekhawatiran Wargono terhadap skema gross split adalah industri dalam negeri akan kalah bersaing dengan produk luar. Apalagi produk impor bisa lebih murah. Untuk pembuatan pipa selubung (casing), misalnya, Tiongkok bisa 80 persen lebih murah. (Baca: Skema Gross Split Migas Ancam Keberadaan Kontraktor Kecil)

Insentif tambahan bagi hasil jika kontraktor memakai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), menurut Wargono, juga tidak akan terlalu menolong. Sebab, kontraktor tentu mencari barang dan jasa yang lebih murah. "Bakrie saja masih kalah sama Marubeni," kata dia.