PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah merampungkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2017-2026. Ada beberapa perubahan dalam rencana tersebut, salah satunya adalah berkurangnya porsi sumber energi berbasis gas dari 29,4 persen menjadi 26,6 persen untuk pembangkit listrik.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Nicke Widyawati mengatakan, pengurangan porsi gas karena ingin memberi ruang lebih besar untuk energi baru terbarukan (EBT). Hal ini sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mengamanatkan bauran gas bumi minimal 23 persen pada 2025.
(Baca: Jonan Tambah Porsi Energi Baru Terbarukan untuk Proyek Listrik)
Dengan target tersebut, artinya harus ada penambahan kapasitas pembangkit berbasis EBT sebesar 3,9 Gigawatt (GW) dalam 10 tahun ke depan. “Porsi gas kami kurangi untuk switch ke EBT," kata Nicke di Gedung MPR/DPR , Jakarta, Kamis (30/3).
Dalam RUPTL baru ini, porsi EBT meningkat dari 19,7 persen menjadi 22,6 persen. Peningkatan lainnya juga dialami batubara menjadi 50,4 persen dari sebelumnya 50,3 persen. Beberapa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diganti menjadi PLTU Mulut Tambang dengan total kapasitas 7.300 MW. Sebagian pembangkit itu berada di Sumatera.
Sedangkan porsi pembangkit listrik berbasis Bahan Bakar Minyak (BBM) menurun dari 0,6 persen menjadi 0,4 persen. Hal ini juga mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional, yaitu bauran energi primer terhadap penggunaan energi fosil pada tahun 2025 di bawah 20 persen. (Baca: PLN Teken Kontrak Enam Pembangkit Listrik Tenaga Surya)
Di sisi lain, menurut Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso, target total kapasitas pembangkit listrik PLN dan swasta (IPP) dalam RUPTL 2017-2026 menurun. Pada 2025, target kapasitas pembangkit turun menjadi 125,7 GW dari sebelumnya 128,3 GW.
Sementara saat pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir tahun 2019, target kapasitas pembangkit hanya 79,2 GW, lebih rendah dari target awal sebesar 90,5 GW. Saat ini kapasitas terpasang sekitar 51 GW. “Jadi kalau 35 ribu MW / 35 GW ditargetkan 2019 ini mungkin tercapai di 2020 atau 2021," kata Iwan.
Ia mengatakan, pengurangan kapasitas terpasang pembangkit itu menyesuaikan pertumbuhan ekonomi yang rendah,. Pada RUPTL sebelumnya (2016-2025), dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7 persen namun hanya terealisasi 5,02 persen pada 2016 lalu. Sementara tahun ini targetnya 5,1 persen sesuai APBN 2017. (Baca: Pertumbuhan Ekonomi 2016 di Bawah Target)
Pertumbuhan ekonomi yang rendah ini menyebabkan permintaan listrik juga turun. Dengan pertimbangan itu, menurut Iwan, jadwal operasi beberapa proyek pembangkit listrik juga akan diundur. Jika tidak, akan menyebabkan kelebihan kapasitas. “Kami harus bayar take or pay pembangkit ke IPP," kata dia.