Gonta-Ganti Menteri ESDM Turut Pengaruhi Investasi Hulu Migas

ANTARA FOTO/Aguk Sudarmojo
Lapangan minyak Mudi di Desa Mudi Rahayu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang dikelola oleh Pertamina bersama Petrochina.
29/3/2017, 20.48 WIB

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengakui saat ini memang terjadi ketidakpastian di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. Salah satu penyebabnya yakni pergantian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berlangsung beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir.

Proses pergantian itu membuat beberapa keputusan penting terkait hulu migas menjadi tertunda. Alhasil, mau tak mau suatu keputusan penting sulit diambil. "Contoh paling gampang dalam waktu beberapa tahun Menteri ESDM ganti, itu jadi salah satu faktor ketidakpastian," katanya dalam diskusi kelompok atau Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Indonesia Petroleum Association (IPA) di Jakarta, Rabu (29/3).

(Baca: Presiden Pilih Ignasius Jonan Jadi Menteri ESDM)

Namun, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan juga sudah mencoba membuat industri migas bergairah. Upaya tersebut adalah dengan memberikan pembebasan pajak bagi kontraktor migas saat melakukan kegiatan eksplorasi, seperti pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Di sisi lain, pemerintah menyadari salah satu faktor yang membuat iklim investasi hulu migas tidak menarik adalah persoalan perizinan. Untuk itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memangkas izin agar investor mau menanamkan dananya di Indonesia.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan, izin migas yang sebelumnya berjumlah 104 izin, kini sudah menyusut menjadi 48 izin. Perinciannya 42 izin di BKPM dan enam izin di Kementerian ESDM. “Kami ingin dorong izin-izin di instansi lain juga berkurang,'' kata dia dalam forum FGD tersebut.

(Baca: Izin Sektor Migas Disederhanakan Jadi Enam)

Selain memangkas izin, pemerintah akan membuka data migas kepada investor. Tujuannya agar mudah diakses untuk melihat potensi wilayah kerja migas di Indonesia. Apalagi, potensi Indonesia masih cukup besar.

Sebagai gambaran, dari 100 cekungan di Indonesia mengandung hidrokarbon, baru sekitar 30 cekungan dieksplorasi. Namun potensi ini berada di daerah terpencil dan membutuhkan dana cukup besar agar dapat dikembangkan.

Agar menarik  investor, tingkat pengembalian investasi (IRR), khususnya untuk blok yang ada di laut dalam juga akan diperbesar. Saat ini IRR laut dalam di Indonesia baru sekitar 12-20 persen, sementara di negara-negara lain di atas 30 persen. 

Pemerintah juga menawarkan skema kontrak kerja sama migas menggunakan gross split. Dengan skema ini, kontraktor migas dapat menekan biaya operasi lebih efisien dan bisa memperoleh bagi hasil sesuai dengan variabel-variabel tertentu yang terdapat dalam wilayah operasi migasnya.

Di tempat yang sama, Sekretaris Indonesia Petroleum Association (IPA) Ronald Gunawan mengatakan pemangkasan perizinan belum efektif mendorong investasi karena proses di daerah masih berbelit.

Mengenai penawaran skema gross split, juga dinilai belum mampu menarik investasi. "Gross split ini kan baru keluar, orang tidak berani, intinya itu kan belum teruji barangnya,'' kata dia.

Namun, setidaknya ada beberapa hal yang diminta pelaku industri migas agar iklim investasi migas dapat bergairah kembali. Pertama, efisiensi birokrasi. Saat ini proses penemuan cadangan hingga produksi terbilang lama.

Untuk mengembangkan Donggi Senoro membutuhkan waktu 15 tahun. Sementara dulu pengembangan Blok Sanga-sanga hanya perlu waktu enam tahun. (Baca: Eksplorasi Minim, Cadangan Minyak Turun Hampir Empat Persen)

Kedua, pelaku industri meminta stabilitas kebijakan dari pemerintah sehingga iklim investasi migas lebih pasti. Ketiga, pemerintah dapat menghormati kesucian kontrak-kontrak yang berlaku. Keempat, adanya insentif fiskal untuk kegiatan eksplorasi dan pengembangan. Terakhir, penyediaan infrastruktur energi dan pendukung yang memadai.