Penggunaan Bahan Bakar Gas Minim karena Masalah Infrastruktur

SPBG KATADATA | Agung Samosir
14/3/2017, 14.45 WIB

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai pelaksanaan konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah infrastruktur yang minim.

Hngga kini pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) masih sedikit karena terkendala lahan. “Kadang ada lahan, tapi tempatnya jauh, suplai gas tidak ada,'' kata dia di Jakarta, Selasa (14/3).

(Baca: Pemerintah Akan Wajibkan Pengusaha SPBU Jual BBG)

Menyikapi persoalan tersebut, pada dua pekan mendatang, Jonan akan menerbitkan aturan mengenai kewajiban setiap Stasiun Pengisian Bahan  Bakar Umum membangun dispenser gas. Jonan mengungkapkan, kebijakan itu berangkat dari ide Presiden Joko Widodo saat berdiskusi dengannya, karena merasa selama ini program konversi gas tidak berjalan.

Saat ini , pengguna BBG masih sebatas di kendaraan umum seperti bajaj atau bus Transjakarta, sedangkan kendaraan pribadi  masih jarang memakai BBG. Bahkan untuk bus Transjakarta jumlahnya hanya 4.000 unit. 

 Atas dasar itu,  menurut Jonan, kampanye konversi BBM ke gas masih setengah pura-pura. “Ini terlalu kecil. Program ini dianggap sukses kalau private users akan pakai,'' kata Jonan di Jakarta, Selasa (14/3).

Dengan mewajibkan penjualan BBG di SPBU, harapannya akan lebih terjangkau dan memudahkan masyarakat. Selain itu, pemanfaatan gas alam di dalam negeri juga meningkat. 

Saat ini produksi hariannya mencapai 1,4-1,5 juta barel setara minyak per hari (bph).  Jika program konversi gas jalan maka jatah gas  untuk domestik atau Domestik Market Obligation (DMO) bisa terserap 100 persen. 


Volume Penjualan Gas Alam (Pipa) untuk SPBE SPBG di Indonesia 2010 - 2014

Sayangnya Jonan belum mau berkomentar terkait kewajiban pemakaian dispenser gas apakah diterapkan untuk seluruh SPBU termasuk swasta atau hanya SPBU yang dijalankan Pertamina dan PGN.  Yang jelas, saat ini ada sekitar 5.000 SPBU yang tersebar di Indonesia. Targetnya satu sampai dua tahun sudah terpasang semua.

Kendala lainnya penerapan konversi BBM ke BBG adalah penyebaran konverter kit yang belum masif. Di sisi lain, industri otomotif juga belum membuat kendaraan dengan spesifikasi bahan bakar ganda, yang bisa menggunakan BBM atau BBG. (Baca: Jokowi Terbitkan Perpres Percepat Konversi BBM ke Gas)

Namun, menurut Jonan, industri otomotif juga terkendala dengan minimnya SPBG. Hal ini diketahui, dari hasil diskusi dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Astra Internasional  dan juga Kementerian ESDM yang saat itu dipimpin Sudirman Said.

Dalam diskusi yang berlangsung dua tahun lalu itu, Jonan masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan.''Gaikindo bilang kalau ada pompa gasnya, kita (Gaikindo) apa push (pakai gas),'' kata Jonan.

Selain infrastruktur, agar bisa menarik konsumen menggunakan BBG, harganya harus lebih murah dibandingkan BBM. Saat ini harga rata-rata gas terkompresi (CNG) berkisar Rp 3.100 liter setara premium (LSP) berdasarkan keputusan pemerintah.

Sedangkan BBM Premium di Jawa Rp 6.450 per liter. ''Kalau tidak lebih murah dari BBM, animo BBG pasti kecil,'' kata Jonan. Apalagi  Apalagi biaya konverter kit hingga pemasangannya berkisar Rp 30 juta untuk tiap kendaraan. 

(Baca: Tak Ekonomis, Pengusaha SPBG Minta Kenaikan Harga Jual CNG)

President Asia Pasific Natural Gas Vehiles Association (ANGVA)  Denny Praditya juga meminta agar  pemerintah menerbitkan regulasi yang menarik membangun infrastruktur gas secara masif. Sebab ada empat hal yang menjadi kendala dalam program konversi gas, yakni infrastruktur, harga, kepastian suplai, dan teknologi.

Selain itu sosialisasi ke masyarakat dan pemangku kepentingan perlu dilakukan. Alasannya masih ada masyarakat yang belum paham bahwa gas ramah lingkungan. ''Kami harus edukasi ke publik bahwa gas itu aman, ramah lingkungan dan efisien,''' kata Denny.