Bupati Mimika: Freeport Harus Hengkang dari Tanah Papua

ANTARA FOTO/Vembri Waluyas
Ratusan karyawan Freeport Indonesia berunjuk rasa di kantor Bupati Mimika, Papua, 17 Februari 2017.
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
7/3/2017, 18.35 WIB

Bupati Mimika, Provinsi Papua, Eltinus Omaleng, mendukung kebijakan pemerintah yang mendorong perubahan status kontrak PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Jika tidak menuruti aturan yang berlaku, dia meminta Freeport segera hengkang dari Tanah Papua. Apalagi, Freeport selama ini dinilai tidak merealisasikan janji-janjinya.

Eltinus mengklaim, pemerintah daerah di Papua dan Mimika khususnya, saat ini sangat mendukung penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Dengan peraturan tersebut, Freeport bisa memberikan kontribusi yang lebih besar ke negara, khususnya untuk Papua.

Alasannya, Freeport selama ini hanya memberikan janji-janji tanpa realisasi kepada masyarakat Papua. "Kami benar-benar sakit hati. Freeport harus hengkang dari Papua apabila tidak juga menepati janjinya," ujar Eltinus di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Selasa (7/3).

(Baca: Melunak Soal Arbitrase Freeport, Luhut: Kalau Ribut Semua Rugi)

Menurutnya, salah satu janji yang belum ditepati Freeport adalah membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Papua. Keberadaan smelter diharapkan membuka lapangan pekerjaan yang banyak untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Padahal, di Timika sendiri sudah dibebaskan lahan sebesar 300 hektare oleh masyarakat adat untuk pembangunan smelter.

Freeport pun dinilai kerap lalai menjalankan kewajibannya. Eltinus mencontohkan, Freeport sering membayarkan pajak, royalti, dan lainnya secara tidak wajar dengan alasan pendapatannya yang menurun.

Karena itu, dia menganggap keberadaan Freeport tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian Papua. Bahkan, Freeport tidak berkontribusi membangun jalan dari desa ke desa saja, melainkan menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Lebih lanjut, Eltinus menekankan, pihaknya sangat mendukung kebijakan divestasi 51 persen saham Freeport. Alasannya, selama 50 tahun Freeport di Papua, belum berkontribusi besar untuk kesejahteraan Papua, terutama untuk masyarakat ulayat.

(Baca: Masyarakat Adat Papua Inginkan 10-20 Persen Saham Freeport)

Salah satu kontribusi bersar yang bisa dirasakan apabila, sekitar 10-20 persen saham Freeport diberikan kepada masyarakat adat dan Pemerintah Provinsi Papua. "Jadi, sekitar 10 persen untuk Pemprov Papua dan 10 persen lagi untuk hak ulayat," ujar Eltinus.

Di sisi lain, dia tidak mempermasalahkan apabila Freeport hengkang dan pertambangannya diambil alih oleh pemerintah. Yang jelas, Eltinus meminta hak kepemilikan saham sebesar 10-20 persen tersebut. Bahkan, dirinya mengancam apabila tidak juga diberikan, maka, pemerintah Indonesia (pusat) sebaiknya pun hengkang dari Tanah Papua.

"Kalau tidak diberikan, ya tidak perlu lah ada perusahaan lain yang masuk. Pemerintah juga tidak perlu masuk," ujar Eltinus.

Terkait pendanaannya, Eltinus menjelaskan, sebagian kecil saham yang didivestasikan itu bisa dibeli oleh Pemprov Papua secara mencicil. Dananya dari pinjaman perbankan atau tidak diberikannya dana dari pemerintah pusat selama beberapa tahun.

Sementara itu, Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Tenaga Kerja Reytman Aruan mengatakan, polemik Freeport ini memang telah menimbulkan dampak negatif bagi para pekerja. Namun, dia membantah kabar bahwa sebanyak 1.525 pekerja Freeport mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja hanya dirumahkan saja dengan tetap memperoleh hak-haknya.

(Baca: Jonan Janjikan Masyarakat Adat Papua Dapat Saham Freeport)

Bahkan, Reytmen mengatakan, pekerja yang mengalami PHK ditengarai bukan merupakan karyawan tetap Freeport. Pekerja yang mengalami PHK adalah pekerja dari kontraktor akibat dari kebijakan Freeport yang tidak memperpanjang jasa kontraktor tersebut.

"Jadi, momennya pas. Freeport dengan kontraktor tidak melanjutkan kerja sama. Konsekuensinya, kontraktor tidak perpanjang kerja sama dengan pekerjanya," ujar Reytman.

Seperti diketahui, Freeport masih enggan mengubah status kontraknya menjadi IUPK agar dapat mengekspor mineral mentah meski belum membangun smelter. Alasannya, kewajiban fiskal dalam IUPK tidak menjamin kelangsungan investasi Freeport dalam jangka panjang.

Selain itu, Freeport keberatan dengan kewajiban divestasi 51 persen saham kepada pihak Indonesia, seperti tercantum dalam PP No. 1/2017. Penyebabnya, aturan itu akan menyebabkan Freeport McMorran akan kehilangan kontrol atas Freeport Indonesia.