Tantang Balik Freeport, Jonan: Mau Berbisnis atau Berperkara?

Arief Kamaludin | Katadata
20/2/2017, 18.52 WIB

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mempertanyakan langkah PT Freeport Indonesia yang berencana menggugat Pemerintah Indonesia melalui jalur arbitrase. Apalagi Freeport merupakan salah satu entitas bisnis di Indonesia.

Menurut dia, sebagai perusahaan yang berbisnis di Indonesia, seharusnya Freeport menempuh jalur perundingan daripada harus menggugat pemerintah. “Ini sebenarnya mau berbisnis atau berperkara,” kata dia usai bertemu Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (20/2). (Baca: Upaya Lobi Bos Besar Freeport yang Berujung Ancaman Arbitrase)

Seperti diketahui, Freeport Indonesia tidak dapat menerima kebijakan pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017, yang mewajibkan kontrak karya diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Setelah itu, perusahaan tambang baru memperoleh izin ekspor. Alasannya, dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, menyatakan Kontrak Karya tetap sah berlaku selama jangka waktunya.

Menurut Jonan, sebagai negara yang berdaulat, semua aturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah harus sesuai konstitusi yakni Undang-Undang Dasar 1945. Kalau tidak, peraturan itu bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Masing-masing pihak saya kira juga berusaha mencari jalan yang tidak melanggar UU dan tetap menghargai Kontrak Karya,” ujar dia.

Jonan juga sudah memberikan opsi untuk menyelesaikan masalah Freeport. Pertama, mengikuti aturan yang ada. Alasannya, kalau kontrak karya tidak berubah menjadi IUPK, Freeport tidak bisa mengekspor karena semua pemegang KK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian lima tahun sejak UU Nomor 4 tahun 2009 berlaku.  

Dalam aturan itu, meski juga wajib membangun smelter, tidak ada kewajiban batas waktu lima tahun, sesuai Pasal 102 n 103. “Kami kasih juga, perpanjangan investasi boleh lima tahun dan sudah terbitkan rekomendasi ekspor,” ujar dia. (Baca: Jokowi Teken Aturan Izin Ekspor Mineral dengan Tiga Syarat)

Namun, jika Freeport tidak bersedia dengan opsi pertama, alternatif lainnya adalah mengubah Undang-undang Minerba. Langkah ini akan memakan banyak waktu dan tidak bisa dalam waktu cepat.

Jika kedua opsi tersebut tidak bisa maka pilihan terakhir untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur arbitrase. Jonan pun menegaskan, pemerintah siap menempuh jalur tersebut. “Bukan hanya Freeport yang bisa membawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa,” kata Jonan.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto meminta agar kontrak karya Freeport tetap dihargai. Namun, Kementerian ESDM dan Freeport juga tidak boleh mengabaikan undang-undang yang ada. Artinya, kalau perusahaan asal Amerika Serikat itu menginginkan ekspor konsentrat maka wajib mengubah kontraknya menjadi IUPK. 

(Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)

Namun, jika Freeport tetap membawa sengketa ke dalam arbitrase, juga pemerintah siap. ''Yang jago-jago arbitrer kami juga banyak. Sekali lagi kita tidak ingin memperlemah atau bersinggungan dengan UU yang ada,'' kata dia.