Alotnya proses negosiasi perubahan status kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia berbuntut panjang. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu terpaksa menghentikan proses produksi dan mulai mengurangi karyawannya karena tidak bisa lagi melakukan ekspor.
Kondisi terkini perusahaan tersebut disampaikan pihak manajemen kepada para karyawan dan organisasi Freeport di Papua melalui sebuah memo internal. Memo bertanggal 11 Februari 2017 itu memuat tujuh poin kondisi terkini Freeport.
Pertama, Freeport tidak dapat mengekspor konsentrat tembaga akibat dari peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah Indonesia pada Januari 2017. Secara khusus, manajemen Freeport menilai peraturan itu melanggar hak-hak Freeport dan Kontrak Karya (KK) yang sudah diteken sebelumnya.
(Baca: Dirjen Minerba Janjikan Freeport Bisa Ekspor Pekan Depan)
Kedua, Freeport tetap bersedia mengubah KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesuai peraturan baru pemerintah. Namun, Freeport bersikukuh kesediaan itu disertai syarat.
Syarat itu adalah, adanya jaminan dari pemerintah berupa perjanjian stabilitas investasi dengan kepastian hukum dan fiskal yang sama seperti tercantum dalam KK saat ini. “Kondisi-kondisi tersebut diperlukan dan sangat penting bagi perencanaan investasi jangka panjang PT Freeport Indonesia,” kata manajemen Freeport dalam memo yang salinannya dimiliki Katadata, Selasa (14/2).
Ketiga, Freeport akan terus bekerjasama dengan pemerintah untuk mencapai suatu perjanjian yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun, manajemen Freeport menggarisbawahi, sampai hari ini tak ada perjanjian yang telah disepakati.
Kempat, pabrik pengolahan (Mill) telah dihentikan operasinya pada Jumat pekan lalu (10/2). Jadi, saat ini pabrik tersebut tidak lagi memproduksi konsentrat tembaga. (Baca: Sri Mulyani Ingin Freeport Berikan Penerimaan Lebih ke Negara)
Kelima, manajemen Freeport akan mengubah rencana operasi akibat penghentian operasi tersebut. Perubahan rencana itu akan berdampak kepada pengurangan karyawan mulai pekan ini depan. Bahkan, keenam, Freeport telah mengurangi jumlah karyawan senior mulai Jumat pekan lalu (10/2).
Ketujuh, Freeport telah memberitahukan kepada para kontraktor terbesarnya mengenai perubahan rencana operasi tersebut. Selanjutnya, para kontraktor itu sedang melakukan langkah-langkah awal pengurangan karyawannya.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono membantah adanya penghentian produksi Freeport karena belum mendapatkan rekomendasi ekspor dari pemerintah. ''Siapa bilang berhenti produksi, gak lah, gak ada laporan ke saya,'' katanya di Jakarta, Selasa (14/2). Jadi, dia mengklaim produksi Freeport hingga kini masih berjalan normal.
Di sisi lain, Bambang Gatot kembali menegaskan Freeport Indonesia telah menerima persetujuan IUPK dari Kementerian ESDM. '' Tanyain dia (Freeport), kalau bilang sama saya udah (mengubah KK menjadi IUPK),'' katanya.
Seperti diketahui, Freeport harus menghentikan ekspor konsentrat sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 pada 12 Januari lalu. Dalam aturan itu, pemegang KK seperti Freeport dilarang mengekspor konsentrat sebelum mengubah status kontraknya menjadi IUPK.
(Baca: Perubahan Status Kontrak Disetujui, Freeport Kembali Bisa Ekspor)
Pada Jumat pekan lalu, Bambang Gatot mengumumkan Freeport dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara telah mengajukan permohonan perubahan KK menjadi IUPK pada 26 Januari 2017. Dalam tempo 10 hari, kedua perusahaan tambang raksasa itu mendapatkan persetujuan Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk perubahan status kontraknya.
"Hari ini Kementerian ESDM mengumumkan perubahan KK Freeport dan PT Amman Nusa Tenggara menjadi izin usaha pertambangan,” katanya. Setelah memberikan persetujuan ini, Kementerian ESDM meminta kedua perusahan tersebut untuk segera mengajukan permohonan izin ekspor.
Namun, Juru Bicara Freeport Riza Pratama membantah pengumuman tersebut. Ia menyatakan, proses negosiasi yang dilakukan Freeport bersama dengan Kementerian ESDM hingga kini masih belum rampung.
"Sampai saat ini, belum ada kesepakatan (perubahan kontrak). Ekspor tetap dilarang sebagai akibat dari peraturan-peraturan yang diterbitkan di Januari 2017," ujar Riza kepada Katadata, Senin (13/2).