Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM) Nomor 8 tahun 2017 tentang skema baru kontrak bagi hasil Gross Split menuai sorotan. Pelaku industri minyak dan gas bumi (migas) mengaku aturan tersebut tidak menarik, bahkan tidak memberikan kepastian dalam berinvestasi.  

Menurut Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari, salah satu yang perlu mendapat sorotan dalam skema gross split adalah pembebanan pajak kepada kontraktor sebelum bagi hasil diterima. "Katanya net after tax, tapi ternyata ada pajak yang setelah itu masih dibebankan," ujar dia di Jakarta, Kamis (19/1).

(Baca: Aturan Terbit, Kontrak Baru Migas Pakai Skema Gross Split)

Sebagai gambaran, pada skema kontrak gross split,  mekanisme bagi hasil awal (base split) ditentukan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. Komponen variabel dan komponen progresif ini bisa menambah atau mengurangi bagi hasil kontraktor.

Besaran bagi hasil awal untuk minyak bumi yang menjadi bagian negara sebesar 57 persen, sisanya kontraktor. Sedangkan bagian negara dari produksi  gas bumi sebesar 52 persen dan sisanya menjadi hak kontraktor.

Selain itu, Rovicky melihat, aturan tersebut belum menjelaskan jika terjadi kelebihan produksi dari rencana awal. "Misal rencana pengembangan lapangan sudah ditentukan produksinya 1.000 barel per hari (bph), tapi ketika produksi 1.200 bph. Kelebihan itu akan di-charge bonus ke pemerintah atau investor?" katanya.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan kepemilikan aset migas. Dalam Pasal 21 aturan itu hanya disebutkan seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik atau kekayaan negara. Pembinaannya dilakukan pemerintah dan dikelola SKK Migas.

Pasal 21 ini juga menjadi perhatian anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar. Kriteria barang dan peralatan ini seharusnya lebih diperjelas. "Ini nanti menimbulkan multiinterpretasi," kata dia. (Baca: BPK Temukan Potensi Kerugian Aset Negara oleh Chevron)

Selain itu, Pasal 15 ayat 4 juga belum mencantumkan kriteria persetujuan atau penolakan rencana kerja kontraktor oleh SKK Migas. Hal ini dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian bagi investor.

Khusus mengenai Enhanced oil Recovery (EOR), Andang meminta pemerintah tidak hanya mengandalkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 ini. Menurut dia, harus ada tambahan regulasi untuk meningkatkan daya tarik pengusahaan EOR di Indonesia.

Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo) Sammy Hamzah juga menilai aturan baru itu belum menarik bagi investor. Alasannya, aturan serupa sudah pernah diluncurkan pemerintah dalam beleid sebelumnya, tapi tidak bisa diimplementasikan bagi kontrak blok nonkonvensional.

(Baca: Pengusaha Ingin Skema Gross Split Tak Kurangi Keuntungan Proyek)

Menurut Sammy, aturan ini belum bisa memberikan keekonomian bagi sebagian blok. "Bagi beberapa usaha eksplorasi dan blok baru rasanya ini tidak menarik (gross split)," katanya.