Era baru investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia telah dimulai seiring terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai kontrak bagi hasil gross split. Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 yang diteken Ignasius Jonan pada Senin lalu (16/1) itu, memuat tiga komponen untuk menentukan besaran bagi hasil migas antara negara dan kontraktor.
Penentuan bagi hasil pada skema gross split berbeda dengan skema kerja sama sebelumnya. Apalagi, dengan skema baru ini, modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh kontraktor. Berbeda dengan skema kerja sama sebelumnya yang menggunakan sistem cost recovery atau penggantian biaya operasional oleh negara.
(Baca: Aturan Terbit, Kontrak Baru Migas Pakai Skema Gross Split)
Penerimaan negara dalam kontrak gross split ini terdiri atas bagian negara, bonus-bonus dan pajak penghasilan kontraktor. Selain penerimaan negara, pemerintah memperoleh pajak tidak langsung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan penerimaan kontraktor dihitung berdasarkan persentase produksi kotor (gross) setelah dikurangi pajak penghasilan. Ketentuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan insentif lainnya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan fasilitas perpajakan dan insentif pada kegiatan usaha hulu migas.
Sementara itu, kontraktor wajib membayar pajak penghasilan sesuai perlakuan pajak penghasilan di bidang kegiatan usaha hulu migas. Biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang pajak penghasilan kontraktor. (Baca: Teken Kontrak Baru Blok ONWJ, Pertamina Siap Kucurkan Rp 113 Triliun)
Dalam aturan tersebut, perhitungan bagi hasil skema gross split terdiri dari tiga indikator, yakni komponen dasar, komponen variabel, dan komponen progresif. Komponen variabel dan progresif ini bisa menambah dan mengurangi komponen dasar.
Besaran komponen dasar untuk bagi hasil minyak bumi adalah 57 persen untuk negara, sedangkan 43 persen menjadi bagian kontraktor. Sedangkan untuk gas, negara memperoleh 52 persen dan sisanya kontraktor.
Sementara yang mempengaruhi komponen variabel adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, dan jenis reservoir. Selain itu, kandungan karbondioksida (CO2), kandungan hidrogen sulfida (H2S), berat jenis minyak bumi, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) saat pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.
Adapun komponen progresif terdiri dari harga minyak bumi dan jumlah kumulatif produksi migas. Komponen progresif berdasarkan harga minyak dunia ini dilakukan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas. Evaluasi dilakukan berdasarkan perhitungan harga minyak mentah Indonesia bulanan.
(Baca: SKK Migas Tetap Awasi Penggunaan Produk Lokal di Skema Gross Split)
Besaran komponen variabel dan progresif bervariasi dari 0 persen hingga 16 persen. Untuk menentukan besaran tersebut, menurut Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar, pemerintah telah mengkaji kondisi 10 lapangan yang menjadi representasi blok migas di Indonesia. “Bisa saja kami kalibrasi 20 atau 100 lapangan, tapi representatifnya 10,” kata dia di Jakarta, Kamis (19/1).
Dengan begitu, pemerintah berharap bisa menarik investasi. “Kemarin kami mendatangi company yang besar juga, mereka bilang tertarik dengan itu (gross split)," kata Arcandra.
Berbeda dengan Arcandra, Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin menganggap komponen variabel dan tambahan besaran bagi hasil yang ditawarkan pemerintah untuk lapangan migas nonkonvensional masih di bawah keekonomian pada kontrak sekarang.
"Salah satu contohnya untuk new frontier versus pembangunan sumur, cuma dikasih 2 persen sangat tidak cukup," kata dia kepada Katadata, Kamis (19/1).
Selain itu, komponen dasar juga tidak memberikan insentif di awal masa kontrak. Padahal, masing-masing lapangan berbeda kondisinya.