Badan Pusat Statistik (BPS) menilai relaksasi aturan ekspor mineral akan berdampak positif terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Dengan diperbolehkannya lagi ekspor mineral akan membuat nilai ekspor bertambah, apalagi di tengah tren kenaikan harga komoditas tambang yang sedang naik saat ini.

Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan aturan baru yang membuka peluang ekspor mineral mentah ini dapat memicu nilai ekspor nonmigas. Sehingga membantu neraca perdagangan agar tidak defisit. (Baca: Ditopang Harga Komoditas, Ekspor Diprediksi Naik Tahun Ini)

Bahkan BPS berharap relaksasi ekspor mineral bisa terus berjalan tahun ini. "Harusnya (ekspor) akan meningkat. Kami harapkan tetap dipertahankan, relaksasinya tidak bersifat temporary (sementara)," ujar Sasmito saat ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Senin (16/1).

Secara khusus, Sasmito menjelaskan kinerja ekspor nonmigas pada Desember 2016 sudah mengalami kenaikan sebesar 1,99 persen atau sebesar US$ 13,77 jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Nilai ini pun 15,57 persen lebih tinggi dibandingkan Desember 2015.

Salah satu pemicu kenaikan ini adalah meningkatnya nilai ekspor tembaga sebesar 5,62 persen atau mencapai US$ 178,46 juta, dibandingkan November 2016 yang hanya US$ 168,58 juta. Secara kumulatif, ekspor tembaga tahun lalu tercatat sebesar US$ 1,59 miliar.

"Relaksasi aturan minerba ini membuat ekspor tembaga akan mengalamai peningkatan. Ini yang membuat dampak ekspor kita bagus. Dari sisi pertambangan, mengurangi tekanan ekspor kita selama ini," ujar Sasmito. (Baca: Surplus Neraca Dagang 2016 Tumbuh 14 Persen meski Ekspor Turun)

Seperti diketahui, perusahaan tambang sempat terancam tidak bisa mengeskpor mineral mentahnya mulai 12 Januari 2017. Namun, sehari sebelumnya Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, yang mulai berlaku saat itu juga, yakni 11 Januari 2017.

PP ini merupakan perubahan keempat dari PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Revisi ini memberikan kesempatan bagi perusahaan tambang untuk mengekspor mineral mentah tanpa melakukan pemurnian di dalam negeri.

Dalam PP 1/2017, pemerintah menghapus ketentuan pemegang kontrak karya (KK) yang telah melakukan pemurnian dapat menjual hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu. Kini, jika ingin mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya, pemegang Kontrak Karya (KK) wajib mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUP Khusus.

Syarat kedua agar bisa mengekspor adalah perusahaan tambang wajib membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Namun, pemerintah memberikan waktu bagi pemegang IUP/IUPK untuk menyelesaikan pembangunan smelter paling lama lima tahun sejak revisi aturan ini diterbitkan. (Baca: Jokowi Teken Aturan Izin Ekspor Mineral dengan Tiga Syarat)

Dalam pembangunan smelter, pemerintah akan mengawasi prosesnya setiap enam bulan sekali. Bahkan, sebagai bentuk keseriusan, pemerintah meminta komitmen pembangunan smelter berupa surat pernyataan resmi oleh pemegang IUP/IUPK. "Jika tidak ada perkembangan, kami setop izin ekspornya," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan saat konferensi pers di Kementeriaan ESDM, Jakarta, Kamis (12/1).

Syarat ketiga, perusahaan tambang pemegang IUPK harus melaksanakan komitmen divestasi sahamnya sebanyak 51 persen kepada Indonesia secara bertahap mulai tahun kelima hingga tahun ke-10 produksinya. Tujuannya agar negara memiliki hak mayoritas lebih besar dan menguasai wilayah kerja pertambangan.

Terkait jenis mineral yang boleh diekspor, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri. Beberapa di antaranya adalah nikel kadar rendah, bauksit kadar rendah, dan seng.