Para pelaku usaha masih keberatan dengan skema bagi hasil industri hulu minyak dan gas bumi (migas) gross split yang akan segera dijalankan oleh pemerintah. Skema tersebut dikhawatirkan akan menutup peluang industri penunjang hulu migas nasional untuk bersaing dengan perusahaan asal luar negeri.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Migas Bobby Gafur mengatakan, pihaknya memang sudah mendapatkan informasi dari pemerintah atas rencana perubahan skema bagi hasil industri migas ini. Ia menilai, skema memberikan keleluasaan bagi para kontraktor untuk melakukan kegiatannya tanpa pengawasan yang ketat dari pemerintah.
Menurut Bobby, salah satu hal yang paling ditakutkan adalah tidak berjalannya aturan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Apalagi, selama ini TKDN di industri hulu migas pun masih belum terpenuhi. Adanya skema gross split ini dikahwatirkan membuat kontraktor makin mengabaikan industri nasional dalam menunjang kegiatan hulu migasnya. (Baca juga: Skema Baru Gross Split Migas Akan Berlaku Tahun Depan)
"Ini menjadi mimpi buruk kami. Sekarang saja TKDN kita masih sulit, harga minta rendah. Setelah kita tidur karena harga minyak rendah, skema ini malah bisa membuat tidur lebih panjang," ujar Bobby saat diskusi bersama pelaku industri penunjang migas, di Menara Kadin, Jakarta, Selasa (13/12).
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Hubungan Kelembagaan dan Regulasi Sektor Energi dan Migas Kadin Firlie Ganinduto meminta pemerintah untuk tetap melakukan pengawasan yang ketat. Sanksi yang tegas juga harus diberikan kontraktor migas yang tidak melaksanakan kewajibannya. "Pengawasan perlu dilakukan agar pelaksanaan sesuai kontrak," ujarnya.
Selain itu, skema gross split pada kontrak migas yang baru juga harus tetap memperhatikan penggunaan kandungan dalam negeri. Sebab, dengan adanya kelonggaran kontraktor dalam memilih industri penunjangnya, hal tersebut yang membuat para pengusaha khawatir tidak bisa bersaing dengan industri dari negara lain.
Jumlah Wilayah Kerja 2013-Juli 2016
Firlie mencontohkan, produksi baja dan pipa dari Cina jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia. "Sehingga, dari hasil meeting kami, memang menampung masukan-masukan asosiasi agar pemerintah dan investor migas multinasional memiliki keberpihakan akan produk dalam negeri," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyelesaikan aturan mengenai skema baru kerjasama minyak dan gas bumi (migas) yakni gross split. Targetnya, skema ini bisa diterapkan mulai awal tahun depan.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, penerapan skema anyar kerjasama migas ini hanya berlaku untuk kontrak baru. Sedangkan kontrak yang sedang berjalan masih menggunakan skema bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC). (Baca juga: Pelaku Migas Kaji Untung-Rugi Skema Bagi Hasil Gross Split)
Alasan Arcandra tidak memberlakukan skema baru itu untuk kontrak lama adalah demi menghormati kesucian kontrak yang sudah berjalan. “Mudah-mudahan Januari tahun depan aturan selesai,” kata dia di Jakarta, Jumat (9/12) lalu.
Salah satu kerjasama migas yang berpeluang menerapkan skema baru ini adalah kerjasama pengelolaan Blok Offshore North West Jawa (ONWJ). Kontrak blok ini akan habis 18 Januari 2017. Ketika kontrak habis, pemerintah memberikan hak kelola blok ini kepada PT Pertamina (Persero).