Shell Hengkang dari 10 Negara untuk Tekan Pengeluaran

Arief Kamaludin|KATADATA
8/6/2016, 08.37 WIB

Perusahaan minyak asal Belanda, Royal Dutch Shell, akan menghentikan kegiatan operasional minyak dan gas buminya di sepuluh negara untuk efisiensi pengeluaran. Shell bahkan harus membayar utang setelah mengakuisisi perusahaan migas multinasional asal Inggris, BG Group, dengan nilai US$ 54 miliar. Merger dengan BG telah membuat Shell menjadi perusahaan minyak kedua terbesar di dunia, setelah ExxonMobil.

Shell yang membuka bisnisnya di lebih dari 70 negara ingin fokus ke 13 negara saja, yang benar-benar memberi pemasukan signifikan. Tiga dari 13 negara tersebut adalah Brasil, Australia, dan Amerika Serikat.

“Portofolio kami beragam dan tersebar di seluruh dunia dan di beberapa negara memang lebih matang,” kata Chief Financial Officer Shell, Simon Henry seperti dikutip Reuters, Selasa, 7 Juni 2016. (Baca: Shell PHK Lagi 2.200 Pegawai).

Kebijakan ini termasuk penjualan sepuluh persen aset produksi migasnya untuk merampingkan perusahaan. Kondisi tersebut memungkinkan para investor mendapatkan lebih banyak portofolio gas dibanding para pesaingnya seperti ExxonMobil.

Namun, dengan pengumuman ini, Shell belum merinci negara-negara yang akan ditinggalkannya. Hanya, Reuters pernah memberitakan perusahaan ini ingin menjual asetnya, satu di antaranya, di Gabon. Seluruh penjualan tahun ini ditargetkan US$ 6 hingga 8 miliar.

Hingga 2018, Shell berencana menjual asetnya yang bernilai US$ 30 miliar di seluruh dunia dan menutup kegiatan operasionalnya di lima dari sepuluh negara untuk mengurangi beban. Sebenarnya, nilai penjualan aset produksi migas Shell telah merosot seiring gejolak harga minyak. Perusahaan juga sudah mengumumkan akan adanya program pembelian kembali saham.

Setelah BG sepakat diambil Shell pada Februari lalu, perusahaan migas Belanda ini memaparkan target pengeluarannya sebesar US$ 25 hingga 30 miliar hingga sepuluh tahun mendatang. Angka tersebut bisa saja lebih rendah jika harga minyak dunia berada di level US$ 50 per barel. (Baca: Laba Anjlok, Shell Lanjutkan Program PHK 10 Ribu Karyawan).

Target itu lebih rendah dibanding rencana belanja modal awal untuk tahun ini yang mencapai US$ 29 miliar, dengan pengeluaran untuk eksplorasi sebesar US$ 2,5 miliar. Ternyata, jumlah ini sudah melalui tiga kali pengurangan dari US$ 35 miliar. Meski demikian, Shell meningkatkan target penghematan menjadi US$ 4,5 miliar atau naik US$ 1 miliar dari rencana sebelumnya, setelah bergabung dengan BG.

Salah satu sumber efisiensi biaya terbesar, selain merumahkan 12.500 pekerjanya tahun ini, akan diambil dari operasional di Australia, Brazil dan Laut Utara yang selama ini tumpang tindih.

Chief Executive Officer Shell Ben van Beurden berharap penghematan ini bisa mendongkrak harga saham yang sebelumnya melemah sejak harga minyak anjlook di pertengahan 2014. Ia menjanjikan pemasukan double-digit menjadi 10 persen dari 8 persen bagi para para pemegang saham pada akhir dekade mendatang. Dengan skenario ini, Shell memperkirakan harga minyak akan berkisar rata-rata US$ 60 per barel di tahun 2018.

Untuk jangka menengah, Shell memprioritaskan proyek-proyek laut dalam di Brasil dan Teluk Meksiko, serta memajukan divisi kimianya di Amerika Serikat dan Cina. Produksi laut dalam diprediksi berlipat ganda menjadi sekitar 900 ribu barel minyak per hari pada 2020. Perusahaan pun membuka peluang investasi baru untuk pabrik polyethylene di Amerika Serikat.

Sementara itu, Shell akan mengerem investasi baru untuk bisnis gasnya, termasuk untuk liquefied natural gas (LNG), yang telah mencapai kondisi kritis. (Baca: Nasib Blok Masela Tak Jelas, Inpex Ancam Pangkas Karyawan).

Untuk jangka panjang, Shell membidik produksi gas, minyak serpih, bahan bakar nabati, hidrogen serta Solar di Amerika Utara dan Argentina. Perusahaan membidik pemasukan setidaknya US$ 3 miliar dari usaha hilirnya karena kilang, insfrastruktur dan retil lebih tahan terhadap fluktuasi harga minyak.