Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan keputusan DPR dan pemerintah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba). Sebab, beleid tersebut sarat kepentingan pengusaha batu bara.
Peneliti ICW Egi Primayogha menilai ada kekuatan besar yang menggerakkan DPR dan pemerintah mempercepat pengesahan UU Minerba. Kekuatan besar tersebut berasal dari kaum elit dan pengusaha batu bara.
"Kita ketahui bahwa industri batu bara terafiliasi dengan elit kaya. Seperti Toba Grup terafiliasi dengan Luhut Binsar Pandjaitan, kemudian Bumi Resources afiliasi dengan Bakrie," kata Egi dalam Webinar Menyikapi Pengesahan RUU Minerba, Rabu (13/5).
Apalagi menurut dia, industri batu bara sudah menjadi bancakan berbagai pihak. Sehingga bukan hal aneh jika rancangan aturan tersebut disahkan.
Dalam rancangan beleid itu, pemerintah dan DPR sepakat merubah Pasal 169 A dalam UU Minerba. Sehingga pasal tersebut berbunyi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengelolaan Batubara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi sejumlah persyaratan.
(Baca: Pegiat Lingkungan Kritik UU Minerba Cerminan Dukungan Pada Investor)
Kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Hal itu sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Sedangkan dalam UU Minerba Pasal 169 A hanya menyebutkan bahwa KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
UU Minerba Tak Berpihak Kepada Rakyat
Di sisi lain, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah mengatakan proses pembahasan UU Minerba tidak melibatkan masyarakat sipil, terutama yang terdampak kegiatan pertambangan.
Dengan begitu, dia menilai, disahkanya perubahan UU Minerba berpotensi merusak hajat hidup manusia demi kelancaran aktifitas pertambangan. "Menyasar hutan, air, tanah, polusi limbanhya. Selain itu, akses warga hilang karena undang-undang itu menunjukan imperialisme pertambangan tidak mengenal batas," ujar Merah.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam sidang paripurna pada Selasa (12/5) menyebutkan bahwa RUU Minerba memberi perhatian khusus terhadap lingkungan hidup. Rancangan aturan tersebut memuat sanksi tegas berupa sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang tidak melaksanakan reklamasi pasca tambang.
(Baca: Ketok Palu, DPR Sahkan RUU Minerba Jadi Undang-Undang)