Harga Minyak Indonesia Terus Anjlok, Formula Harganya Jadi Sorotan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, kilang minyak. Pemerintah dinilai keliru menggunakan harga dated Brent dalam menentukan ICP.
13/5/2020, 19.56 WIB

Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) telah menetapkan formula harga minyak Indonesia atau ICP. Namun, formula tersebut dinilai merugikan negara. 

Pada April 2020, Kementerian ESDM menetapkan ICP sebesar US$ 20,66 per barel. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan ICP Maret 2020 sebesar US$ 34,23 per barel.

Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman mengatakan formula ICP yang ditetapkan pemerintah berpatokan pada harga dated Brent atau harga pasar Eropa. Padahal, mayoritas produksi minyak Indonesia diolah oleh kilang Pertamina.

Dia pun menilai penetapan ICP dan Official Seling Price (OSP) Indonesia hanya memperhatikan kadar minyak mentah. Namun, tidak mempertimbangkan pasar dan pembeli yang mayoritas berada di dalam negeri. 

"Nilai ICP yang menganut Brent yang ditetapkan itu lebih menguntungkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama," ujar Yusri berdasarkan keterangan tertulis, Rabu (13/5).

Di sisi lain, Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyebut penentuan harga acuan minyak memang seharusnya berdasarkan dinamika pasar. Harga minyak jenis Brent sudah menjadi acuan harga untuk perdagangan minyak skala global.

Dengan begitu, dia membantah bahwa patokan harga minyak jenis Brent hanya terbatas untuk pasar Eropa atau North Sea. Di wilayah lain seperti Asia Pasifik, harga Brent tetap menjadi patokan utama.

"Minyak-minyak jenis lain, menggunakan Brent atau dated Brent sebagai patokan dasarnya, kemudian ditambahkan konstanta atau formula tertentu," kata Pri Agung kepada katadata.co.id pada hari ini.

Lebih lanjut, dia menilai, Brent menjadi salah satu acuan harga karena cakupan pasarnya luas. Selain itu, harga minyak jenis Brent telah merepresentasikan dinamika pasar minyak global.

Hal itu berbeda dengan acuan harga minyak asal Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI). Harga minyak tersebut hanya mencakup pasar AS.

(Baca: Harga Minyak Anjlok, Menteri ESDM Sebut PNBP Migas 2020 Hanya Rp 86 T)

Selain itu, Pri menyebut, acuan harga Brent lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan patokan harga lain seperti Opec basket atau Dubai. Jika dibandingkan dengan harga WTI yang sempat negatif, harga minyak jenis Brent masih bisa bertahan di level US$ 20-30 per barel. 

Dengan begitu, patokan harga Brent lebih baik bagi penerimaan negara. Namun, patokan harga tersebut membuat harga minyak impor dan pengadaan BBM lebih mahal. "Ya memang seperti itu konsekuensi logisnya," kata dia.

Menurut Pri, hal yang perlu menjadi catatan dalam penetapan harga minyak bukanlah patokan harga yang digunakan. Namun, posisi Indonesia sebagai negara nett importer.

Dengan posisi tersebut, apa pun formulanya tidak akan mengubah keadaan. "Seharusnya yang digarisbawahi itu sebenarnya pada persoalan nett importer-nya, bukan pada persoalan acuan harganya," kata dia.

(Baca: Harga Minyak Anjlok Setengah, Kemenkeu Hitung Dampak ke APBN)

Reporter: Verda Nano Setiawan