Merespons penolakan pemerintah atas usulan relaksasi royalti batu bara, Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) kembali menyuarakan pentingnya relaksasi.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menjelaskan, pemberian relaksasi tergolong krusial karena saat ini pelaku usaha sektor tambang batu bara tengah tertekan akibat pandemi virus corona atau Covid-19. Pasalnya, pandemi corona telah berdampak pada penyerapan komoditas emas hitam tersebut.
Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini, APBI meminta agar pemerintah memberikan stimulus berupa relaksasi pembayaran royalti batu bara untuk sementara waktu. Tujuannya, agar perusahaan tambang batu bara memiliki nafas mengelola aliran uang atau cash flow.
"Perusahaan saat ini tengah kesulitan cash flow, karena adanya pandemi corona terjadi perbedaan antara selisih harga patokan batubara (HPB) dengan harga jual aktual," kata Hendra, kepada Katadata.co.id, Kamis (11/6).
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, dan Pembayaran atau Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara, pembayaran royalti ke negara harus mengacu kepada HPB. Namun, dengan adanya kondisi saat ini, pembeli lebih menggunakan refrensi acuan harga indeks.
Ia menambahkan, saat ini posisi pembeli lebih kuat dibanding pelaku usaha tambang. Alasannya, pasar batu bara global sedang berada dalam titik oversupply yang membuat harga jual batu bara anjlok.
Dengan kondisi harga jual batu bara yang rendah, pelaku usaha kesulitan mengejar selisih harga kewajiban yang harus dibayarkan ke negara. Maka itu, APBI hanya meminta relaksasi tersebut diberikan sementara waktu hingga kondisi pasar mulai membaik.
(Baca: Kementerian ESDM Tolak Pelonggaran Royalti Batu Bara)
"Paling tidak dalam sisa enam bulan ini, kalau enam bulan ini tiba-tiba perubahan pasar bisa HPB lebih rendah lagi ya tidak apa-apa kita jual lagi dengan harga tinggi. Jadi sementara saja," kata dia.
Selain itu, APBI juga meminta pemerintah memberikan relaksasi dalam sistem pembayaran royalti agar dapat dilakukan setelah pengapalan. Sebab sesuai peraturan, pembayaran royalti diwajibkan dibayarkan sebulan sebelum pengapalan.
"Kami cuma minta setelah pengapalan pembayarannya, bukan berarti pelaku usaha tidak mau bayar. Sistem yang ideal menurut kami, royalti biayarkan sekian persen sebelum pengapalan, kemudian sisanya dibayar setelahnya, " ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menolak relaksasi pembayaran royalti batu bara. Ini merupakan respons pemerintah atas permintaan relaksasi yang diajukan oleh para pelaku usaha tambang batu bara.
Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Johnson Pakpahan menyatakan, penolakan tersebut karena pembeli telah memberikan uang muka di awal dalam proses jual beli batu bara.
"Jadi kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, pemerintah juga sama-sama mendapatkannya," kata Johnson dalam diskusi media secara daring, Jumat (5/6).
(Baca: Realisasi Produksi Batu Bara hingga Mei Baru Mencapai 42% Target)