Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun skema insentif untuk mendorong investasi di sektor panas bumi. Salah satunya adalah, kompensasi biaya eksplorasi yang akan dikerjakan pengembang.
Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, FX Sujiastoto menjelaskan, pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih terjangkau. Sebab, selama ini yang menjadi pengambat pengembangan sektor panas bumi adalah, harga jual listrik yang tidak ekonomis.
"Karena itu, pemerintah memberikan insentif supaya harga jual listrik dari pembangkit turun. Misalnya panas bumi, biaya eksplorasi dikompensasi oleh pemerintah, kemudian tax holiday juga akan diberikan," kata Sujiastoto, dalam video conference, Selasa (28/7)
Aturan ini akan masuk dalam draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan pembelian listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Nantinya, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.
Menurutnya, jika aturan ini dapat diimplementasikan dengan baik, maka biaya produksi listrik yang dihasilkan dapat ditekan. Hal ini, juga akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
Kementerian ESDM memproyeksikan, akan ada penurunan harga sekitar US$ 2,5 hingga US$ 4 sen per kilowatt per jam (kWh) jika aturan tersebut dijalankan. Selain itu, melalui aturan ini diharapkan dapat membuat iklim investasi di sektor panas bumi lebih bergairah.
Adapun, agar proses mekanisme pengembalian biaya kompensasi tersebut dapat berjalan dengan lancar, pihaknya telah membentuk tim pengawasan yang akan dijalankan bersama Badan Geologi Kementerian ESDM.
"Dana untuk insentif biaya eksplorasi ini akan berasal dari APBN, yang alhamdulilah untuk 2021 sudah masuk dalam pagu indikatif dan siap dilaksanakan," ujarnya.
Investasi sektor panas bumi Indonesia memang tergolong lambat, dengan realisasi pada kuartal I 2020 baru mencapai US$ 163 juta atau 15,52% dari target tahun ini sebesar US$ 1,05 miliar. Hal ini disebabkan karena ada tantangan, dan risiko yang cukup besar dalam pengembangan panas bumi, salah satunya soal eksplorasi.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari menjelaskan investor perlu tambahan insentif agar tertarik mengembangkan proyek panas bumi. Apalagi, Indonesia memiliki keterbatasan akses infrastruktur menuju lokasi proyek.
"Selama ini pembangunan akses ke lokasi dibebankan ke pengembang. Jadi berpengaruh ke tarif dan keekonomian proyek," ujar Ida, dalam forum diskusi virtual, Kamis (11/6).
Padahal, potensi energi panas bumi di Indonesia mencapai 23,9 Giga Watt (GW). Namun, baru dimanfaatkan sebesar 8% atau baru terpasang 2.130,7 Mega Watt (MW). Kapasitas tersebut setara dengan pemakaian Bahan Bakar Minyak atau BBM sebesar 32.000 barrel of oil equivalent per day (BOEPD).