Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) menilai keleluasaan pemilihan skema kontrak sebaiknya diikuti dengan dikembalikannya insentif dan hak-hak istimewa pelaku usaha sektor minyak dan gas (migas)
Direktur Eksekutif Aspermigas Moshe Rizal Husin mengatakan pemberian keleluasaan bagi pelaku usaha memilih antara cost recovery dan gross split bakal membuat iklim investasi sektor migas sedikit membaik. Namun aturan ini harus diikuti dengan pemberian insentif, agar iklim investasi migas Indonesia semakin menarik.
Sebab sebelum aturan gross split dikeluarkan, investasi sektor migas sebenarnya sudah mulai turun dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah keluarnya Undang-undang (UU) Migas tahun 2001 yang memangkas beberapa kepastian dan hak-hak istimewa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Moshe mengatakan hal tersebut berdampak pada kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi migas di Indonesia selama ini.
"Setidaknya hak-hak istimewa KKKS dipertahankan, tapi justru dipangkas. Salah satunya term assume & discharge yang sudah ada di kontrak sejak dulu," ujar Moshe, kepada Katadata.co.id, Senin (3/8).
Jika pemerintah benar-benar serius ingin mendorong investasi sektor migas, pihaknya berharap agar insentif dan hak-hak KKKS yang sebelumnya dipangkas dapat dikembalikan seperti sebelumnya.
Selain itu, Moshe menilai skema kontrak gross split sebetulnya bukanlah seuatu hal yang buruk untuk diterapkan. Sebab, beberapa negara lain juga telah mengadopsi bentuk kontrak yang tidak jauh berbeda dengan gross split.
"Namun termin gross split yang ditawarkan pemerintah yang justru menimbulkan ketidakpastian," ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah memberikan keleluasaan bagi investor untuk memilih bentuk kontrak kerja sama migas. Pemberian keleluasaan ini dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2020, yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 15 Juli 2020.
Permen ESDM 12/2020 merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM 8/2017 tentang kontrak bagi hasil gross split. Pemerintah mengatakan perubahan ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum, dan meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu migas.
Beberapa pasal yang diubah adalah Pasal 2 dan 4 yang mengatur mengenai bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok kontrak bagi hasil gross split.
Ketentuan Pasal 2 mengalami perubahan, sehingga Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa Menteri ESDM menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama yang akan diberlakukan untuk suatu wilayah kerja dengan mempertimbangkan tingkat resiko, iklim investasi dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara.
Pasal 2 Ayat (2) menyatakan penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama dapat menggunakan bentuk kontrak gross split, kontrak bagi hasil dengan mekanisme cost recovery atau kontrak kerja sama lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Ayat (3) disebutkan penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama memuat persyaratan yaitu kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas, serta modal dan resiko seluruhnya ditanggung kontraktor.
"Kontrak bagi hasil gross split sebagaimana dalam Pasal 2 Ayat (2a), menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif," demikian bunyi Pasal 4.
Pemerintah juga menghapus ketentuan Pasal 24 yang mengatur mengenai pemberlakuan kontrak bagi hasil gross split. Ketentuan ini diperuntukkan bagi pengelolaan wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang, serta wilayah kerja yang akan berakhir dan diperpanjang.
Pasal 25 juga diubah sehingga kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Permen 12/2020 ditetapkan, tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak.
Kemudian, kontraktor yang kontrak kerja samanya telah ditandatangani sebelum Permen 12/2020 ditetapkan dapat mengusulkan perubahan bentuk kontrak kerja sama menjadi kontrak bagi hasil gross split. Lalu, biaya operasi dapat diperhitungkan menjadi tambahan split apabila kontraktor mengusulkan perubahan bentuk kerja sama.
Terakhir, penetapan kontrak kerja sama untuk PT Pertamina dan afiliasinya akan ditentukan oleh Menteri ESDM. Secara spesifik, penetapan dilakukan terhadap wilayah kerja baru, yang kontrak kerja samanya belum ditandatangani.