Pandemi virus corona atau Covid-19 telah membuat rencana kerja perusahaan di sektor pertambangan ikut terdampak, seperti proyek pembangunan fasilitas pemurnian atau smelter milik PT Freeport Indonesia. Meski ada hambatan, pemerintah tetap berharap proyek ini berjalan sesuai rencana.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan akan mempelajari usulan Freeport Indonesia yang hendak menunda pembangunan smelter. Pasalnya, ia belum mengetahui secara pasti mengenai rencana tersebut karena baru diangkat.
"Beri saya waktu sebentar untuk bicara terkait usulan Freeport menunda pembangunan smelter sama teman-teman yang menangani," ujar Ridwan saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (10/8).
Meski akan mempelajari usulan Freeport Indonesia, ia mengharapkan agar proyek hilirisasi tetap patuh terhadap ketentuan yang ada. Sebab hilirisasi merupakan kewajiban dari para perusahaan tambang.
Berdasarkan Undang-undang (UU) Minerba, pembangunan smelter rampung paling lambat pada 2023 atau tiga tahun sejak ketentuan ini diundangkan.
Sebelumnya, PT Indonesia Asahan Alumunium atau Inalum, sebagai holding pertambangan Indonesia, menyebut Freeport Indonesia telah mengajukan penundaan pembangunan smelter. Alasannya, mobilitas kontraktor di lapangan terhambat pandemi corona.
"Soal smelter itu sebenarnya masalah sederhana, karena ada Covid-19 mereka mengajukan ada penundaan. Ini kan berlaku umum, tidak untuk Freeport Indonesia saja, kontraktor juga susah ke lapangan," kata Direktur Utama Inalum Orias Petrus Moedak, dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/5).
Selain soal mobilitas kontraktor yang terhambat, pembangunan smelter Freeport juga terkendala pasokan material untuk pembangunan. Hal ini disebabkan adanya pembatasan di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Freeport Indonesia menargetkan pembangunan smelter di JIIPE rampung 2023, dan akan mengebut pembangunannya mulai Agustus 2020. Awal tahun ini, proses pembangunan masih berupa pemadatan tanah.
Untuk membangun proyek senilai US$ 3 miliar atau setara Rp 41 triliun ini, Freeport Indonesia mendapat pinjaman sebesar US$ 2,8 miliar atau Rp 38 triliun dari sembilan bank. Biaya terbesar dialokasikan untuk engineering, procurement, & construction (EPC).
Pembangunan smelter ini sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba). Perusahaan tambang diwajibkan melakukan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah produk hasil pertambangan.
Meski demikian, Orias tidak membeberkan sampai kapan Freeport Indonesia akan menunda pembangunan smelter ini. Ia hanya menyatakan, kelanjutan pembangunan akibat penundaan ini akan dibahas dengan Kementerian ESDM.