Pertamina mencatat rugi hingga Rp 11 triliun pada semester I 2020. BUMN itu pun berharap pemerintah bisa membayar utang untuk meringankan beban perusahaan.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan kerugian yang terjadi pada semester I 2020 disebabkan oleh triple shock. Hal itu terdiri dari penurunan permintaan, selisih kurs, dan turunnya harga minyak mentah dunia.
Menurut dia, kondisi krisis kali ini berbeda dengan krisis keuangan sebelumnya. Pasalnya, permintaan migas dan produk turunnya anjlok cukup tajam.
Pada krisis sebelumnya, kinerja keuangan perusahaan biasanya hanya dipengaruhi oleh selisih kurs dan harga minyak."Tapi ini demand yang terdampak signifikan. Ini lebih berat dari financial crisis sebelumnya," ujar Emma dalam Rapat Kerja Menteri ESDM dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (26/8).
Selain permintaan yang turun tajam, Emma menyebut selisih kurs juga berdampak signifikan bagi kinerja keuangan Pertamina. Apalagi, pembukuan keuangan Pertamina menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Sedangkan piutang Pertamina ke pemerintah dalam mata uang rupiah. Piutang tersebut pun belum dilunasi oleh pemerintah hingga saat ini.
"Dampaknya cukup signifikan terhadap piutang kami ke pemerintah karena itu dalam rupiah. Piutang kami berupa kompensasi Rp 96 triliun dan piutang susbidi Rp 13 triliun, itu merepresentasikan 60% rugi kurs translasi kami," kata Emma.
Jika pemerintah membayar utang tersebut, Emma meyebut, Pertamina bisa menekan rugi kurs translasi. "Ini magnitude-nya besar, karena kami lakukan hedging di market pun tida ada flow-nya. Ini menimbulkan rugi 30-40%," ujarnya.
Selain kurs, kinerja keuangan Pertamina terdampak penurunan harga minyak dunia. Menurut Emma, harga minyak mentah pada kuartal kedua berkisar antara US$ 19 hingga US$ 20 per barel. Padahal pada Desember 2019 masih di kisaran US$ 63 per barel.
Hal itu berdampak langsung pada margin hulu migas perusahaan. Adapun, margin hulu menyumbang 80% EBITDA Pertamina.
Meski begitu, Emma optimistis kinerja keuangan Pertamina bisa lebih baik pada akhir tahun ini. Itu lantaran harga minyak dunia mulai meningkat pada Juli-Agustus 2020.
"Kami sudah lakukan prognosa, pada akhir Desember bisa positif," ujar dia.
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaklumi kerugian yang dialami Pertamina pada semester I 2020. Pasalnya, semua perusahaan juga terdampak pandemi corona.
Pihaknya pun yakin kinerja perusahaan pelat merah itu bisa lebih baik ke depannya. Apalagi harga minyak yang sempat jatuh ke level US$ 20 per barel telah meningkat menjadi US$ 45 per barel.
"Tinggal menunggu respon terhadap demand-nya," ujar Arifin.