Lawan Dominasi Tiongkok, Trump Genjot Produksi Mineral Rare Earth
Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif untuk meningkatkan produksi mineral tanah langka atau rare earth minerals dalam negeri. Langkah anyar ini sebagai upaya mendorong sektor manufaktur dan mengurangi ketergantungan dengan Tiongkok.
Keputusan itu mengarahkan Departemen Dalam Negeri AS untuk menggunakan Undang-Undang Produksi Pertahanan untuk mempercepat pengembangan sektor pertambangan. Pemerintahan Trump menyebut saat ini keadaan darurat nasional dalam industri tersebut.
Sebelumnya, Trump juga memakai undang-undang yang sama untuk mempercepat pasokan medis selama pandemi corona. “Perintah ini berupaya untuk mengurangi kerentanan AS terhadap gangguan rantai pasokan mineral penting, melalui kerja sama dan koordinasi dengan mitra dan sekutur, termasuk sektor swasta,” demikian salah satu bagian perintah eksekutif itu, dikutip dari Bloomberg, Kamis (1/10).
Mineral jarang telah menjadi fokus negara itu selama melakukan perang dagang dengan Tiongkok sejak akhir 2018. Pasalnya, Tiongkok menyumbang 80% dari total impor logam dan senyawa langka di AS pada tahun lalu.
Gedung Putih ketika itu telah memerintahkan Departemen Pertahanan untuk memacu produksi magnet tanah jarang yang menjadi bahan baku kendaraan listrik, turbin angina, hingga rudal. Washington khawatir Beijing akan membatasi produk ekspornya untuk meningkatkan ketegangan perdagangan kedua pihak.
Penandatanganan keputusan itu bertepatan pula dengan perjalanan kampanye Trump ke Minnesota. Di sana ia mengajak para penambang di negara bagian itu untuk mendukungnya dalam pemilihan presiden pada November nanti.
Dengan keluarnya perintah eksekutif, Sekretaris Energi AS akan menerbitkan pedoman untuk mengklarifikasi proyek mana yang mendukung rantai pasokan dalam negeri. Departemen Dalam Negeri dan Energi harus mendorong pengembangan dan penggunaan kembali area limbah batu bara, material bekas lokasi tambang, serta lokasi tambang.
Perang dagang AS dan Tiongkok mulai terlihat dampaknya pada tahun lalu. Menurut data Biro Sensus AS yang dikutip Statista, nilai ekspor Tiongkok ke AS pada semester I-2019 anjlok 12,4% atau sebesar US$ 31 miliar menjadi US$ 219 miliar.
Apa Itu Rare Earth?
Melansir dari BBC, rare earth atau mineral langka terdiri dari 17 elemen yang banyak dipakai dalam produksi sejumlah besar sektor. Termasuk di dalamnya teknologi energi terbarukan, penyulingan minyak, elektronik, dan industri kaca.
Meskipun disebut langka, kuantitasnya relative melimpah di kerak bumi, menurut Survei Geologi AS. Namun, hanya sedikit tempat di dunia yang menambang dan memprodukisnya. Ekstraksi yang relatif sulit membutuhkan teknologi canggih dan berpotensi merusak lingkungan.
Myanmar, Australia, AS serta beberapa negara lain hanya menambang dalam jumlah kecil. Tiongkok saat ini mendominasi proses pemurnian rare earth secara global. Tahun lalu, hampir 90% semua pemrosesan mineral itu menjadi oksida dilakukan oleh Negeri Panda. Dalam lima tahun terakhir, ekspor oksida rare earth Tiongkok naik dua kali lipat.
AS mengimpor sekitar 80% rare earth dari Tiongkok. Estonia, Prancis, dan Jepang juga memasok logam tanah jarang olahan ke AS, tetapi bijih aslinya berasal dari Tiongkok. Satu tambang rare earth yang beroperasi di AS mengirimkan bijihnya ke Tiongkok untuk diproses. Beijing menerapkan tarif impor produk tersebut sebesar 25%.
AS sebenarnya memiliki opsi untuk mengimpor ke Malaysia, tetapi tidak dalam jumlah yang dibutuhkan. Selain itu, pemerintah Malaysia mengancam akan menghentikan produksi karena masalah lingkungan.
Ada opsi lainnya, yaitu AS membuat pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter sendiri. Tapi pilihan ini membutuhkan waktu dan Tiongkok kemungkinan besar akan membatasi ekspor bijih besinya.
Penghasil rare earth terbesar secara global adalah AS. Tapi itu pada 1980an. Posisinya tergeser oleh Tiongkok. Jadi, tak heran kalau Beijing menguasai sumber daya tersebut hingga proses pemulihannya saat ini.