Penyerapan listrik PLN saat ini tidak maksimal. Pasokannya menjadi berlebih. Kondisi ini membuat Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengirimkan surat ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada 18 September lalu.
Dalam surat itu, Erick meminta Arifin memperhatikan kondisi PLN, baik secara operasional maupun keuangan, karena terdampak pandemi Covid-19. Caranya, dengan mendorong pelaku usaha memakai listrik yang disediakan perusahaan setrum negara itu dan membatasi pemberian izin usaha penyediaan listrik dan captive power.
Erick juga berpendapat Kementerian ESDM perlu melakukan penyesuaian Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 dengan mempertimbangkan beberapa hal. Misalnya, kapasitas infrastruktur ketenagalistrikan yang telah atau sedang dibangun, proyeksi permintaan, dan kemampuan pendanaan, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun keuangan PLN.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan permintaan bosnya itu bukan lantaran kondisi PLN dalam keadaan parah. Namun, untuk memaksimalkan penyerapan listrik yang saat ini kelebihan pasokan.
Kementerian BUMN berpendapat tidak perlu lagi ada institusi atau penambahan pembangkit listrik baru. “Jadi enggak ada pemborosan energi. Kan sayang kalau industri bikin pembangkit baru, sementara PLN mampu memenuhi kebutuhan tersebut,” kata dia kemarin, Kamis (1/10).
Sebagai infomrasi, pandemi corona telah menghantam perekonomian secara global. Permintaan di sektor energi pun merosot. Kementerian ESDM mencatat penjualan listrik PLN terus mengalami penurunan. Bahkan, pada paruh pertama tahun ini realisasinya di delapan wilayah anjlok di atas 5%.
Executive Vice President Communication and CSR PLN Agung Murdifi memastikan jika pasokan daya di seluruh sistem kelistrikan PLN dalam kondisi cukup dan siap untuk menjadi penggerak roda ekonomi. Sebagai BUMN di bidang ketenagalistrikan, perusahaan berkomitmen untuk memenuhi setiap kebutuhan listrik bagi pelanggan.
PLN pun memastikan akan mempermudah para pelaku industri dan bisnis dalam menjalankan operasional usahanya di Indonesia. "Biar PLN yang menyediakan listriknya. Sesuai mandat yang diberikan kepada kami, listrik harus menjadi penggerak roda ekonomi," kata dia kepada Katadata.co.id.
Namun, ia enggan menjawab soal kondisi oversupply listrik seperti tertuang dalam surat Menteri Erick. Katadata.co.id mencoba mengonfirmasi mengenai hal ini kepada Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana. Namun, hingga berita ini dimuat, yang bersangkutan memilih bungkam.
Imbauan Erick Pengaruhi Kepercayaan Investor
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat Menteri BUMN boleh saja khawatir dengan kondisi keungan PLN yang ada di bawah pengelolaanya. Namun, apabila permintaan Erick dikabulkan maka dapat mempengaruhi kepercayaan investor kepada pemerintah.
Permintaan dalam surat itu, menurut Fabby, kurang elok. Kewenangan pemberian izin usaha penyediaan tenaga listrik berada di tangan Menteri ESDM. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahung 2012 tentang kegiatan usaha penyediaan listrik. "Ini justru kontraproduktif dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan investasi," kata dia.
Permintaan itu juga dinilai ambigu dan akan berdampak pada industri dalam penyediaan tenaga listrik. Pasalnya, izin pengusahaan tenaga listrik itu ada dua jenis, yakni untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan sendiri.
Untuk kepentingan umum, ada persyaratan yang ketat dan dilakukan oleh pemegang wilayah usaha. Izinnya juga susah diberikan lantaran sebagian besar wilayah Indonesia sudah ditetapkan sebagai wilayah usaha PLN. "Jadi, implikasi dari permintaan ini ada pada izin usaha untuk pemakaian sendiri," kata dia.
Selain itu, permintaan Erick juga akan berdampak pada industri yang akan menggunakan energi terbarukan sebagai bagian dari komitmen perusahaan mereka untuk mengurangi emisi karbon. Saat ini banyak industri yang ingin melakukan konservasi energi dengan memanfaatkan limbah panas (heat waste) menjadi energi listrik. Langkah itu sebagai upaya efisiensi energi di perusahaan swasta.
Namun, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat surat yang dikirimkan oleh Menteri Erick hanya sebatas koordinasi instansi pemerintah. Harapannya, kementerian teknis dapat membantu PLN di tengah pelemahan konsumsi listrik dan ada rasa saling berbagai beban atau sharing the pain di tengah pandemi Covid-19.
Mamit mengatakan surat itu bukanlah melarang swasta membangun pembangkit tapi membatasi. "Selama masa pandemi dan kondisi masih surplus listrik maka captive power lebih baik menggunakan energi dari PLN," ujarnya.
Infrastruktur PLN siap untuk membangun atau mengganti captive power. Apalagi, kebanyakan pelanggan industri berada di Jawa dan Sumatera. "Untuk yang industri yang infrastrukturnya sulit, saya kira memang lebih baik menggunakan captive power," kata dia.
Tunda Pembangunan Pembangkit Baru
Fabby lebih mengusulkan agar baik Menteri BUMN maupun Menteri ESDM meminta PLN untuk mengoptimalkan atau memadamkan pembangkit yang tidak efisien. Perusahaan lalu dapat bernegosiasi dengan produsen listrik swasta atau IPP untuk menurunkan tingkat minimum kapasitasnya yang harus diambil atau dibeli oleh PLN.
"Atau meminta IPP menurunkan ketentuan take or pay selama masa pandemi, minimal sampai dengan 2022, sebagai bentuk sharing the pain," ujarnya.
Selain itu, ia menyarankan agar Kementerian ESDM memberikan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau IUPTL untuk pemakaian industri dan bangunan komersial. Khususnya, untuk penggunaan pembangkit energi terbarukan dan atau ketentuan konservasi energi.
Sejalan dengan hal itu, Fabby berpendapat pemerintah perlu menunda pembangunan pembangkit yang termasuk dalam program 35 ribu mengawatt (MW). Saat ini pembangkit yang belum masuk fase kontruksi ada sekitar 4 gigawatt hingga 5 gigawatt. “Tunda pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sampai 2022, khususnya di Jawa dan Sumatera,” ucapnya.
Langkah tersebut dapat menjadi koreksi untuk mencegah oversupply listrik lebih parah lagi. Proyek 35 ribu megawaat juga cukup membuat arus kas PLN semakin tertekan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya pernah mengimbau agar industri tidak membangun sistem listrik sendiri di tengah pembangunan megaproyek 35 ribu MW. Pelaku industri bisa memanfaatkan listrik yang dipasok PLN. "Jangan sampai ada yang memanfaatkan atau membangun sumber listrik sendiri," kata Arifin di Kompleks Istana Kepresidenan, beberapa waktu lalu.
Pada awal tahun ini PLN menyebut pasokan listriknya sudah surplus. Hampir semua sistem kelistrikannya memiliki cadangan mencukupi. Namun, perusahaan tetap melanjutkan proyek pembangunan pembangkit, terutama program 35 ribu megawatt.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, PLN akan menambah kapasitas pembangkit sebesar 56.397 megawatt dan menambah jaringan transmisi sepanjang 57.293 kilometer sirkuit (kms) hingga tahun 2028.
PLTU berbahan bakar batu bara masih mendominasi pembangunan pembangkit tersebut, sekitar 48%. Target penambahannya dari produsen swata atau IPP dalam 10 tahun ke depan sekitar 60%. Ketika membuat RUPTL itu pemerintah beralasan kemampuannya dalam penyediaan listrik terbatas sehingga membuka peluang bisnis bagi konsorsium swasta.
Kementerian ESDM menargetkan tambahan kapasitas pembangkit listrik hingga 2024 sebesar 27,38 gigawatt dari kapasitas tahun lalu sebesar 69,6 gigawatt. Dari tambahan itu mayoritas berasal dari program 35 ribu megawatt (MW). Sisanya diambil dari proyek pembangkit listrik Fast Tracking Project (FTP) yang sempat mangkrak.
Bauran energi dari pembangkit listriknya, terdiri dari energi fosil sebesar 67% dan energi baru terbarukan (EBT) mencapai 33%. Nilai investasi yang dibutuhkan sekitar US$ 36 miliar terdiri dari pembangkitan fosil sebesar US$ 17,89 miliar dan EBT US$ 18,6 miliar.
Melansir dari laporan Statistik Listrik 2013-2018 Badan Pusat Statistik, kapasitas terpasang pembangkit terbesar berada di Pulau Jawa. Jawa Barat berada di posisi teratas pada 2018 dengan 9.697 megawatt. Di posisi berikutnya adalah Jawa Timur dengan 9.396 megawatt. Lalu, Banten dan Jawa Tengan masing-masing 8.052 megawatt dan 7.150 megawatt. Posisi tersebut sedikit berbeda dibandingkan pada 2017, seperti tampak pada grafik Databoks di bawah ini.