BPK Kritik Penyusunan Skema Kontrak Migas yang Sering Berubah

Pertamina Hulu Energi
Ilustrasi. BPK mengkritik kontrak bagi hasil atau PSC gross split di sektor hulu minyak dan gas bumi.
2/11/2020, 18.07 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan alias BPK mengkritik kontrak bagi hasil atau PSC gross split di sektor hulu minyak dan gas bumi. Lembaga auditor negara itu menilai skema ini tidak memberikan perbaikan signifikan bagi iklim investasi migas Tanah Air.

Pasalnya, penyusunan skema gross split selama ini terkesan terburu-buru. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan hal ini tercermin dari revisi berkali-kali yang pemerintah lakukan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sudah tiga kali Menteri ESDM mengganti aturan tentang skema bagi hasil itu. Pertama, Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 yang mengatur tambahan split melalui diskresi menteri maksimum 5%. Namun, angka ini tak membuat investor bahagia.

Kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS ketika itu menganggap skemanya tidak menguntungkan. Jatah bagi hasil untuk mereka menjadi lebih kecil. Lalu, terbitlah Permen ESDM Nomor 52 Tahun 2017. Yang kemudian diubah lagi dalam Permen Nomor 12 Tahun 2020.

Dalam aturan teranyar tersebut, KKKS dapat memilih skema gross split atau cost recovery. "Ini sebuah gambaran ada satu titik ketergesa-gesaan saat kebijakan ini dibuat," kata Agung dalam FAMI Group Discussion 2020, Senin (2/10).

Production sharing contract gross split (PSC GS) adalah model kontrak kerjasama pada bisnis hulu migas yang menggunakan pola pembagian hasil produksi dengan persentase dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan di awal, sebelum memperhitungkan biaya.

Dalam skema gross split, pengawasan negara terhadap proyek hulu migas akan berkurang. Hal ini berbeda dengan skema cost recovery yang masih melibatkan pemerintah dalam penetapan anggaran.

Skema itu membuka peluang praktik transfer pricing dengan perusahaan afiliasi. "Hasil penerimaan negara dan perpajakan dapat berkurang," kata dia.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Januari lalu sempat mengatakan investor kurang tertarik dengan skema gross split untuk pengembangan wilayah kerja migas baru, mengingat risiko yang harus ditanggung belum pasti.

Hal ini berbeda dengan risiko pengembangan di wilayah kerja yang sudah ada alias existing. "Gross split umumnya memang langsung bisa direspons untuk daerah-daerah wilayah kerja yang sudah ditinggalkan," kata Arifin.

Ia menyebut potensi sumur migas existing memang kecil tapi dapat menahan laju penurunan produksi migas Tanah Air. “Misalnya, dalam satu sumur minyak, yang sudah diangkat 40%, masih ada sisa 60%. Ada 20% yang bisa diangkat kembali," ujarnya.

Fleksibilitas Kontrak Berpotensi Dorong Investasi

Wood Mackenzie berpendapat langkah pemerintah memberi opsi bagi investor memilik skema kontrak berdampak positif bagi investasi migas. Lembaga riset dan konsultan global itu menyebut skema gross split yang mulai pada 2017 telah memangkas birokrasi, meningkatkan efisiensi dan investasi serta menambah produksi minyak dan gas bumi.

Ekonom senior perminyakan Wood Mackenzie Nikita Golubchenko mengatakan skema baru itu sebetulnya cocok untuk kontrak migas pada blok terminasi yang akan habis kontrak. Di saat harga minyak sedang tinggi dan efisiensi biaya yang signifikan, penerapan gross split mendukung untuk wilayah kerja yang akan memperpanjang kontrak.

Investor juga dapat menegosiasikan ulang tambahan split yang diperlukan dengan skema tersebut. "Kami telah melihat perpanjangan proyek seperti di Blok Duyung dan di Blok East Sepinggan sebagai hasilnya." ujar Golubchenko dalam keterangan tertulis pada 17 September 2020.

Namun, ia masih melihat adanya kriteria yang tidak jelas dalam regulasi Indonesia, yaitu adanya diskresi menteri yang dapat mengubah split. Kondisi ini menjadikan skema gross spilt tidak populer, terutama di saat harga minyak sedang anjlok seperti sekarang.

Meskipun dalam kontrak gross split kisaran pembagian pendapatan variabel dan progresif tambahan tersedia, investor tidak melihat keuntungan yang cukup untuk mengimbangi peningkatan risiko proyek serta pengadaan.

Karena itu, pemerintah Indonesia menghadirkan kembali kontrak bagi hasil cost recovery. Investor menjadi bebas memilih dua skema kontrak migas. Golubchenko mengatakan Indonesia dapat menawarkan berbagai peluang yang berbeda guna meningkatkan investasi migas. Salah satunya dengan memberikan kebijakan fleksibilitas fiskal yang menarik

Reporter: Verda Nano Setiawan