Perusahaan migas asal Italia, ENI, bakal menggantikan posisi Chevron dalam mengembangkan proyek Indonesia Deepwater atau IDD di Selat Makassar. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan kedua pihak telah melalui proses diskusi terkait alih kelola proyek tersebut.
Ia berahap proses administrasinya dapat segera rampung pada akhir tahun ini. “Dengan begitu, tahun depan sudah ada perubahan proposal rencana pengembangan (PoD),” katanya dalam Indonesian Oil & Gas Upstream Outlook Webinar, Kamis (19/11).
Posisi ENI dalam mengambil alih proyek laut dalam itu sangat strategis. Perusahaan sudah memiliki fasilitas produksi di Blok Muara Bakau dan Lapangan Merakes, Blok East Sepinggan. Lokasinya di cekungan Kutai, lepas pantai Kalimantan Timur.
Dwi mengatakan, masuknya ENI bakal membuat rencana pengembangan menjadi lebih baik. “Karena ENI sudah memiliki fasilitas yang dapat diintegrasikan dengan IDD,” ucapnya. Meskipun ada perubahan kepemilikan saham, ia yakin proyek itu dapat rampung dan mulai berproduksi di 2025.
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan saat ini masih menunggu laporan terbaru dari Chevron soal alih kelola tersebut. "Karena ini business to business," ujarnya kepada Katadata.co.id pagi tadi.
Proyek Laut Dalam ENI
Chevron saat ini memiliki 62% saham di IDD, sisanya dipegang oleh ENI 20% dan Sinopec 18%. Terdapat lima lapangan gas yang akan dikembangkan dalam proyek IDD ini yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha, dan Gandang.
Lapangan Bangka telah berproduksi sejak Agustus 2016 dengan kapasitas terpasang 110 juta kaki kubik gas dan 4 ribu barel kondesat per hari. Namun, Chevron memilih tidak melanjutkan IDD tahap kedua.
Keputusan itu sudah santer terdengar pada 2015 ketika harga minyak dunia turun. Harganya semakin memburuk saat ini di tengah pandemi Covid-19 yang menurunkan konsumsi dan permintaan minyak.
Manager Corporate Communication Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo mengatakan proyek ini tidak lagi masuk secara hitungan keekonomian. IDD tahap II tak dapat bersaing dengan portofolio global Chevron untuk mendapatkan pendanaan.
Perusahaan lalu mencari operator penggantinya. "Kami percaya proyek ini akan memiliki nilai untuk operator lain, agar Kutai Basin dapat terus dikembangkan dengan selamat dan bertanggung jawab," kata dia pada pertengahan tahun ini.
Masuknya ENI bukan tanpa sebab. Selain memiliki fasilitas produksi yang berdekatan dengan IDD, perusahaan juga memiliki pengalaman mengerjakan proyek deepwater, termasuk di Myanmar dan Angola.
Untuk proyek Angola, melansi dari situs S&P Global, ENI sudah mulai berproduksi pada Januari lalu. Ada lima lapangan minyak ditemukan pada Blok Agogo dengan produksi awal sekitar 20 ribu barel per hari.
Butuh Banyak Insentif
Pandemi Covid-19 membuat ENI mencatat kerugian bersih sepanjang kuartal ketiga 2020 sebesar US$ 7,83 miliar (sekitar Rp 111,3 triliun). Realisasi itu berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu ketika perusahaan meraih untung sebesar US$ 2,03 miliar.
Total pinjaman bersih setelah kewajiban sewa perusahaan naik dari US$ 18,51 miliar menjadi US$ 19,85 miliar. Di sisi lain, belanja modal perusahaan turun dari US$ 5,58 miliar menjadi US$ 3,76 miliar.
Turunnya kinerja ini seiring dengan merosotnya harga minyak mentah dunia. ENI mencatat harga minyak Brent sepanjang kuartal tiga lalu berada di level US$ 40,82 per barel. Pada periode yang sama tahun lalu berada harganya di US$ 64,66 per barel.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan keuangan ENI sangat terpukul. Keputusan perusahaan masuk ke proyek IDD tentu membutuhkan belanja modal dan operasional yang banyak.
Untuk mengukuhkan minat ENI, pemerintah harus menggelontorkan insentif yang signifikan. Misalnya, tax holiday, perubahan bagi hasil alias split, accelerated depreciation, dan harga kewajiban untuk dalam negeri (DMO) yang menarik.
Moshe menyebut, dari segi finansial akan sangat berat, apalagi ENI kemungkinan akan menanggung lebih dari 80% biaya di awal proyek. "Keekonomian lapangan yang perlu ditekankan, IDD ini proyek mahal," ujarnya.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai variabel untuk mengukur bagaimana agar proyek ini jalan cukup banyak. Bukan hanya sekadar mempunyai fasilitas, tapi apakah investasi itu sesuai atau tidak dengan prioritas atau strategi korporasi perusahaan secara global.
Kondisinya akan berbeda apabila pemerintah memutuskan mengerjakannya sendiri, dalam hal finansial dan keuangan. “Agar proyeknya jalan ya harus win-win. Dengan siapa saja investor atau operator mengembangkannya. Negosiasinya business to business,” kata Pri.
Sampai sekarang sebenarnya belum jelas bagaimana pengembangan IDD. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat proyek ini memiliki persoalan yang cukup kompleks.
ENI, yang disebut bakal menggantikan Chevron, sampai sekarang belum memberikan kepastian. Memang, perusahaan sudah memiliki fasilitas dekat IDD. Tapi Mamit ragu apakah itu cukup memangkas biaya investasi proyek. "Mereka saya kira terus berhitung terkait dengan faktor keekonomian lapangan," ujarnya.
Dengan penurunan tren energi fosil seperti ini, pemerintah harus meyakinkan ENI. Misalnya, dengan mengurangi split pemerintah di proyek tersebut sehingga dapat menguntungkan investor. "Harus ada sedikit pengorbanan," kata dia.
Sebagai informasi, proyek IDD termasuk salah satu proyek migas dengan nilai investasi besar, selain Blok Masela. Proyek ini sebenarnya sudah mengantongi persetujuan pengembangan lapangan (PoD) pada 2008.
Namun, setelah Chevron masuk tahap front-end engineering design (FEED) pada 2013, biaya yang dibutuhkan untuk proyek ini meningkat hampir dua kali lipat. Dari US$ 7 miliar menjadi US$ 12 miliar. Perusahaan pun mengajukan revisi PoD, tapi proposalnya ditolak oleh pemerintah.
Chevron lalu mengajukan lagi revisi PoD IDD tahap II, dan perpanjangan kontrak. Tapi negosiasi dengan pemerintah mentok, terutama mengenai skema bagi hasil. Pemerintah mengharuskan Chevron memakai skema gross split dalam proyek IDD tahap II.
Skema gross split merupakan perhitungan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan perhitungan di muka. Negara mendapat penerimaan lebih pasti dan tidak kehilangan kendali soal penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi, dan bagi hasil. Penerapannya berbeda dengan kontrak bagi hasil sebelumnya yang memakai skema cost recovery alias penggantian biaya operasi.