Pabrik Gasifikasi Batu Bara Bukit Asam Masuk Proyek Strategis Nasional

Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi. Pembangunan pabrik gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang digagas oleh PT Bukit Asam Tbk, masuk ke dalam proyek strategis nasional alias PSN.
1/12/2020, 20.11 WIB

Pemerintah menetapkan pabrik gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang digagas oleh PT Bukit Asam Tbk, menjadi proyek strategis nasional alias PSN. Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Presiden No 109 Tahun 2020. Pemerintah juga menetapkan Kawasan Industri Tanjung Enin masuk dalam proyek tersebut. 

Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie mengatakan naiknya status proyek hilirisasi tersebut dapat mempercepat optimalisasi sumber daya alam yang melimpah. “Proyek ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat,” katanya dalam siaran pers, Selasa (1/12). 

Pabrik gasifikasinya akan mengolah sebanyak 6 juta ton batu bara per tahun untuk menghasilkan 1,4 juta ton dimethyl eter atau DME. Targetnya, produk akhir ini dapat mengganti dan mengurangi impor elpiji atau LPG.

Pengurangan impornya dapat menghemat cadangan devisa negara sebesar Rp 8,7 triliun per tahun atau Rp 261 triliun selama 30 tahun. Kemudian, pemerintah akan mendapat efek berkesinambungan sebesar Rp 800 miliar per tahun dari proyek ini. Penghematan nearaca perdagangannya mencapai Rp 5,5 triliun per tahuna tau Rp 165 triliun selama 30 tahun. 

Harapannya, industri nasional akan ikut terdorong dengan kehadiran proyek ini. Penyerapan jumlah tenaga kerjanya mencapai 10.570 orang saat tahap kosntruksi dan 7.976 orang selama operasi.

Apollonius mengatakan proyek gasifikasi tidak dapat dipandang dari sisi komersial. “Tapi juga menjadi penunjang ketahanan dan kemandirian energi Indonesia di masa depan,” ucapnya. 

Perusahaan berkode efek PTBA itu akan menjalin kerja sama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Products and Chemicals Inc untuk mengerjakan proyek tersebut. Nilai investasinya mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 29,7 triliun.

Proyek Gasifikasi Batu Bara Dinilai Terlalu Mahal

Program hilirisasi batu bara menuai kritik. Studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyimpulkan proyek itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.

Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.

Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sebelumnya mengatakan proyek gasifikasi sangat bergantung pada belanja modal dan pasokan batu bara. Kedua aspek itu yang kemudian menentukan harga produknya.

Proyek DME milik Bukit Asam awalnya digagas pada 2017 hingga 2018 lalu. Ketika itu harga elpiji sekitar US$ 550 hingga US$ 580 per ton. Pemerintah juga menghadapi kondisi defisit neraca perdagangan karena nilai impornya yang naik dari tahun ke tahun.

Namun, sejak awal tahun ini harga minyak dan produk turunannya menurun. “Dengan anjloknya harga LPG maka menjadi pertanyaan apakah proyek DME ini masih dianggap layak dan menguntungkan," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan