- Kebutuhan BBM terus naik, tapi produksi dalam negeri tak cukup.
- Pertamina mengembangkan lima kilang BBM untuk mengurangi ketergantungan impor.
- Kilang perlu terintegrasi dengan industri lain agar nilai proyek lebih ekonomis.
Urusan memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak alias BBM domestik bukan perkara mudah. Masalah utamanya, konsumsi terus naik tapi produksi dalam negeri tak mampu mencukupi. Ujung-ujungnya adalah impor yang membebani kas negara.
Sejak Joko Widodo terpilih sebagai presiden di 2014, pemerintah telah mendorong Pertamina untuk memperbarui dan mengembangkan kilangnya. Sudah hampir seperempat abad negara ini tidak memiliki kilang baru.
Awalnya, pengembangan itu ditujukan untuk Kilang Bontang dan Balikpapan saja. Lalu, di 2017 empat proyek lainnya masuk dalam Proyek Strategi Nasional, yaitu Cilacap, Balongan, Dumai, dan Tuban.
Rencana tersebut sejalan dengan upaya mencapai ketahanan energi nasional. Harapannya, produksi BBM dapat meningkat untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Perusahaan pelat merah bidang energi itu sedang mengerjakan lima proyek kilang. Satu proyek new grass root refinery (NGRR) di Tuban, Jawa Timur. Empat proyek refinery development master plan (RDMP) di Cilacap, Balongan, Balikpapan, dan Dumai.
Awalnya, Kilang Bontang masuk dalam rencana pengembangan itu. Tapi pada akhir Juni lalu Pertamina menghentikan proyek ini karena tak mendapatkan mitra dan tak sesuai kebutuhan perusahaan. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan kapasitas kilang-kilang yang akan Pertamina kembangkan.
Corporate Secretary Sub Holding Refining & Petrochemical (PT Kilang Pertamina International) Ifki Sukarya menyebutkan RDMP merupakan proyek pengembangan kilang yang sudah ada. Sementara, NGRR adalah pembangunan kilang dan petrokimia baru.
RDMP Kilang Balikpapan progresnya saat ini baru 23%. Lalu, untuk pengembangan di Kilang Cilacap, perusahaan telah melakukan perluasan lahan 35%. Progres pekerjaan fisiknya untuk awal tahap satu sebesar 61% dan tahap dua sebesar 44%.
Untuk NGRR Tuban berada pada tahap penyusunan dokumen perancangan dasar. “Sudah mencapai 78% dan diharapkan selesai awal Februari 2021,” katanya kepada Katadata.co.id semalam, Kamis (10/12).
Proyek ini sudah mendapatkan partner, yaitu Rosneft asal Rusia. “Badan hukumnya sudah terbentuk, JV Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia,” ucap Ifki.
Melansir situs Komite Percepataan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, kapasitas produksi Kilang Tuban bakal mencapai 300 ribu barel per hari. Perencanaan pembangunannya menggunakan konfigurasi petrokimia, terintegrasi dengan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama.
Kemudian proyek Kilang Balongan sudah masuk fase 1 dan tahap perancangaan, pengadaan, dan konstruksi (EPC). “Akan selesai di 2022,” ujarnya. Pengembangan petrokimianya telah selesai studi kelayakan dan sedang proses pengadaan lahan. Untuk RDMP Dumai masih tahap studi kelayakan.
Ifki mengatakan apabila proyek-proyek ini selesai dibangun, maka kilang Pertamina akan menjadi lebih kompetitif, bahkan terbaik dalam skala regional. “Kapasitas pengolahan dan produksi BBM naik. Produk petrokimia yang dihasilkan akan naik seiring kebutuhan bahan baku material di masa depan,” ujarnya.
Soal intergrasi dengan industri lain ini juga sempat disinggung oleh Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. “Butuh kilang yang terintegrasi agar efisien,” katanya pada pekan lalu.
Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro pada Selasa lalu juga mengatakan bisnis kilang kalau hanya mengandalkan produk BBM tidak akan menguntungkan. Tren sektor otomotif ke depan adalah kendaraan listrik sehingga kemungkinan konsumsinya akan turun.
Kondisinya berbeda apabila kilang minyak terintegrasi dengan bisnis petrokimia. Produk turunan minyak ini masih memiliki prospek cerah di masa depan. “Kalau kilangnya hanya untuk bahan bakar minyak (BBM), saat ini kondisinya sudah kelebihan pasokan di dunia. Itu hanya pendapat kami sebagai perusahaan," kata Hilmi.
Proyek Kilang Dinilai Tidak Untung Tapi Perlu
Kebutuhan BBM untuk sektor transportasi diperkirakan tidak akan hilang dalam 25 tahun ke depan. Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan konsumsinya akan melandai setelah 2025 apabila penetrasi kendaraan listrik alias EV di pasar domestik terimplementasi dengan baik.
Pemerintah telah menargetkan 20% dari total penjualan otomotif merupakan kendaraan listrik pada 2025. Artinya, perhitungan kebutuhan BBM di masa depan perlu dihitung ulang. Termasuk pula kebutuhan kilangnya. “Usia ekonomis kilang cukup panjang, investasinya mahal, pengembalian investasinya lama, dan marginnya pun rendah,” kata Fabby.
Jangan sampai kilang yang nantinya dibangun tingkat utilisasinya rendah. Apalagi, ada pula target produk minyak 1 juta barel per hari pada 2030. Ketika Pertamina selesai membangun kilang, sebelum target tersebut terealisasi, bisa jadi perusahaan akan kesulitan mendapat pasokan minyak mentah.
Hal berbeda Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal katakan. Menurut dia, kebutuhan BBM dalam negeri akan terus meningkat setiap tahunnya seiring kenaikan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, proyek pengembangan kilang harus tetap berjalan.
Program kendaraan listrik membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mencapai posisi seperti di Amerika Serikat. Di samping itu, harganya saat ini juga mahal.
Kebutuhan bahan bakar fosil diprediksi masih akan dominan, setidaknya sampai 20 tahun ke depan. “Efek berganda yang diciptakan dari pengembangan dan pengoperasian kilang-kilang baru ini juga perlu dilihat lebih jauh,” ucapnya.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat dari sisi bisnis dan perspektif korporasi, pembangunan kilang tidak terlalu menguntungkan. Namun, faktanya, kebutuhan impor BBM dalam negeri ke depan masih akan terus terjadi. “Hal itu perlu diantisipasi," kata dia.
Program pencampuran bahan bakar diesel dengan bahan bakar nabati (BBN) atau kerap disebut biodiesel 30 alias B30 dan kendaraan listrik memang perlu dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Kehadirannya dapat mengendalikan konsumsi BBM ke depan.
Namun, pembangunan infrastruktur tempat penyimpanan dan rantai pasokan untuk pendistribusian BBM tetap perlu dilakukan. "Agar kita tidak terdikte pasar dan bisa memanfaatkan momentum ketika harga rendah, kita bisa memperbanyak stok," ujar Pri.
Kilang Perlu Terintegrasi dengan Petrokimia
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat pembangunan kilang baru masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Apalagi kilang tersebut nantinya bisa terintegrasi dengan industri petrokimia.
Impor minyak mentah memang cenderung akan terus meningkat seiring dengan rampungnya proyek kilang. Namun, secara keekonomian, impor crude lebih murah ketimbang Pertamina membeli produk BBM dari luar negeri.
Sementara program biodiesel dari minyak kelapa sawit dan kendaraan listrik harus tetap berjalan paralel dengan pengembangan sektor ini. "Program mobil listrik saya kira adalah jangka panjang dan memang Pertamina juga harus siap dengan kondisi ini," ujarnya.
Karena itu, program RDMP dan NGRR harus terintegrasi dengan petrokimia agar lebih ekonomis ke depannya. Pasalnya produk yang dihasilkan dari minyak mentah sangat banyak turunannya.
Fabby pun mengatakan potensi bisnis dari pengembangan kilang terintegrasi masih cukup menjanjikan. Apalagi produknya masih banyak dibutuhkan oleh pasar. Kebutuhan bahan baku petrokimia dapat mencapai 5,6 juta ton per tahun dan sekitar 55% masih produk impor.
Peluang pasar bisnis tersebut rupanya telah ditangkap oleh perusahaan pelat merah lainnya. PT Pupuk Indonesia berencana membangun pabrik petrokimia berdekatan dengan lapangan gas domestik.
Perusahaan berencana membangunnya di Kepualaun Yamdena, Maluku, dan Teluk Bintuni, Papua Barat. Hal ini seiring dengan beberapa lapangan jumbo yang akan mulai beroperasi dalam beberapa tahun mendatang.
Direktur Utama Pupuk Indonesia Ahmad Bakir Pasaman mengatakan pabrik petrokimia di Kepulauan Yamdena nantinya akan memproduksi amoniak sebesar 250 ton per hari dan methanol sebesar 1 ribu ton per hari.
Pembangunan pabrik di pulau tersebut merupakan tindak lanjut kerja sama dengan Inpex untuk pengembangan Blok Masela. "Kami sudah tandatangan nota kesepahaman dengan Inpex untuk gas sebesar 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD),” kata dia pada 3 Desember lalu.
Untuk pembangunan pabrik di Teluk Bintuni, perusahaan tengah berdiskusi dengan BP Tangguh terkait alokasi gas. Diskusi juga Pupuk Indonesia lakukan dengan Genting Oil, operator Blok Kasuri di Papua Barat soal harga gas.
Di kawasan ini, kapasitas pabrik amoniak mencapai 2 ribu ton, pabrik urea 2.500 ton, dan pabrik methanol 3 ribu ton per hari. Investasinya, menurut Ahmad akan sangat besar.