- Pemerintah berencana memberikan sembilan insentif untuk program hilirisasi batu bara.
- Namun, insentif ini dinilai tidak cukup membuat para pengusaha mau melakukannya.
- Gasifikasi batu bara dinilai sebagai proyek berulang konversi minyak tanah ke elpiji.
Upaya mengurangi ketergantungan impor liquefied petroleum gas (LPG) alias elpiji menjadi salah satu fokus pemerintah saat ini. Proyek hilirisasi batu bara pun menjadi tumpuan untuk menghasilkan bahan bakar penggantinya, yaitu dimethyl ether (DME).
Guna merealisasikan program tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menabur sembilan insentif. Pertama, pemberian royalti hingga 0% bagi perusahaan tambang batu bara yang melakukan hilirisasi. Hal ini pun tertuang dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja.
Kedua, formula harga khusus batu bara untuk gasifikasi. Ketiga, masa berlaku izin usaha pertambangan (IUP) sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi. Keempat, pemberian tax holiday.
Kelima, pembebasan pajak pertambahan nilai atau PPN jasa pengolahan batu bara menjadi gas alam sintetis atau syngas sebesar 0%. Keenam, pembebasan PPN untuk tahapan perancangan, pengadaan, dan konstruksi (EPC) yang memakai kandungan lokal.
Ketujuh, harga patokan produk gasifikasi seperti harga patokan DME. Kedelapan, pengalihan sebagian subsidi elpiji ke DME sesuai porsi yang disubstitusi. Dan terakhir, adanya kepastian pihak yang menyerap atau offtaker produk tersebut.
Kementerian ESDM bersama Kementerian Keuangan masih membahas kesembilan insentif itu. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan saat ini pemerintah tengah mempersiapkan regulasi turunan dari UU Cipta Kerja.
Bentuk dan jenis ketentuan insentif masih akan dibahas setelah arah regulasinya ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah. "Untuk detailnya masih akan dibicarakan secara komprehensif, termasuk regulasinya," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (17/12)
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arief mengatakan pemerintah juga telah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk menyusun peta jalan hilirisasi pertambangan. Setidaknya ada lima yang telah dibentuk.
Pertama, pokja sumber daya batu bara. Kemudian, pokja infrastruktur batu bara dan infrastruktur produk hilir. Lalu, pokja kesiapan teknologi kelayakan ekonomi dan lingkungan proses hilirisasi. Berikutnya, pokja dukungan kebijakan dan skema kerja sama.
Dan terakhir, pokja kesiapan strategi pemasaran produk hilirisasi. "Semua unsur Kementerian ESDM dikerahkan untuk program ini," ujar Irwandy pada Selasa lalu..
Produsen Sambut Positif Insentif Hilirisasi Batu Bara
Direktur Eksekutif APBI Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia menyambut positif rencana pemberian insentif tersebut. Namun, setiap perusahaan memiliki strategi yang berbeda dalam merealisasikan proyek hilirisasi.
Misalnya, cadangan dan jenis batu bara PT Bukit Asam Tbk berbeda dengan perusahaan tambang lainnya. Ada lagi jarak angkut batu bara ke pelabuhan dan kepastian offtaker. “Jadi, tidak menutup kemungkinan bisa ada insentif lainnya," kata dia.
Apalagi, proyek gasifikasi batu bara cukup mahal dan berjangka waktu panjang. Investasinya pun besar karena teknologi yang dipakai belum dikuasai para pelaku usaha dalam negeri. "Kami tahunya gali, lalu jual. Tapi kalau harus mengolah menjadi produk kimia, ini lain cerita," ujar Hendra.
Selain Bukit Asam, PT Arutmin Indonesia menargetkan gasifikasi batu baranya akan berproduksi pada 2025. Lokasi proyek anak usaha PT Bumi Resources Tbk ini berada di Indonesia Bult Terminal, Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
Batu bara yang bakal terserap mencapai 6 juta ton per tahun dengan kadar 3.7000 kilo kalori per kilogram. Lalu, produksi metanol Grup Bakrie ini akan mencapai 2,8 juta ton per tahun.
General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani mengatakan insentif pemerintah akan menarik investor masuk ke proyek gasifikasi. Apalagi, produknya bakal menggantikan elpiji yang selama ini diimpor dengan nilai cukup besar.
Perusahaan juga menyambut positif pemberian subsidinya. “Tentu saja subsidi sangat diperlukan dari segi fiskal maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” ucap Ezra.
Perusahaan masih terus berdiskusi dengan pemerintah mengenai hal ini. Ia pun berharap untuk royalti 0% yang sudah tercantum dalam UU Cipta Kerja dapat sepenuhnya terlaksana.
Proyek DME Jangan Seperti Elpiji
Ekonom Faisal Basri menilai jangan sampai proyek DME malah membebani masyarakat karena nilai proyeknya yang mahal. “Dulu minyak tanah dibunuh karena subsidi besar. Muncullah subsidi elpiji. Nanti DME dapat subsidi lagi karena ongkosnya mahal,” kata dia dalam diskusi Catatan Akhir Tahun: Transisi Energi Indonesia Sampai di Mana?, pagi tadi.
Dengan kondisi tersebut, menurut dia, proyek gasifikasi hanya akal-akalan pengusaha batu bara semata supaya tidak membayar royalti dan pajak lainnya. Pasalnya penyerapan batu bara dari DME tak sampai 10% dari produksi nasional.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat insentif yang pemerintah sudah cukup banyak dan akan membantu investor. Namun, jangan sampai proyek DME seperti proyek konversi minyak tanah ke elpiji.
Ketika minyak tanah dihapus dan diganti elpiji, pemerintah beralasan untuk mengurangi subsidi. Namun, beban impor elpiji pun sekarang semakin tinggi. Pemerintah lalu akan menggantinya dengan DME dan berencana memberikan subsidi juga. “Jangan sampai hal ini terus berulang,” kata Mamit.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan hilirisasi merupakan kewajiban dan persyaratan perpanjangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Hal ini tercantum dalam Pasal 169 A(4) Undang-Undang 3 Tahun 2020 alias UU Minerba.
Meskipun ada sembilan insentif, ia meyakini para pemegang PKP2B tidak akan berlomba-lomba menangkapnya. DME merupakan bisnis kimia, bukan batu bara. Para produsen akan sangat berhati-hati menghitung keekonomian proyek tersebut.
Persoalan kedua, sesuai pasal 102 (2) UU Minerba, izin usaha pertambangan (IUP) nonperpanjangan PKP2B menjadi IUPK sebatas pilihan. Secara skala bisnis, IUP lebih kecil dibandingkan pemilik PKP2B sehingga tidak mungkin secara mandiri masuk ke bisnis DME. Karena itu, pemerintah tidak bisa berhenti pada pemberian sembilan insentif.
Pemilik IUP biasanya adalah badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Sedangkan IUPK diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik desa (BUMD), dan swasta.
Kementerian ESDM harus segera memetakan seluruh IUP, lokasi, potensi, jenis hilirisasi, dan infrastrukturnya untuk melancarkan program hilirisasi. Pasalnya, pemegang IUP cenderung memilih hal berisiko rendah, seperti proyek briket.
Pemerintah juga harus berhati-hati memberi insentif berupa masa berlaku IUP sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi. “Ini harus jelas,” kata Singgih. Kebutuhan batu bara untuk kepentingan gasifikasi dari IUP jauh lebih kecil dari total produksi. Sebagian besar alokasinya pun untuk ekspor.
Hal lain yang Singgih soroti adalah soal posisi DME untuk menambah kebutuhan bahan bakar dalam negeri. Hal ini tidak akan efektif dalam waktu cepat. Dengan beroperasinya proyek DME Bukit Asam dan metanol Arutmin, pemanfaatan batu baranya baru 13 juta ton pada 2025. Sementara, produksi dalam negeri dapat mencapai 550 juta ton per tahun.
Pemerintah harus memberi peran lebih strategis pada komoditas tambang tersebut. Misalnya, dengan melakukan pengendalian produksi sehingga pengelolaannya pun lebih baik.