- Pengembangan Blok Masela makin rumit setelah Shell hengkang dari proyek tersebut.
- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik keputusan pembangunan fasilitas LNG Blok Masela yang berada di darat.
- Persoalan kepastian pembeli gas juga menjadi kunci kelanjutan Blok Masela.
Jelang tutup tahun, nasib pengembangan Blok Masela masih jalan di tempat. Apalagi setelah Royal Dutch Shell memutuskan hengkang dari proyek itu pertengahan 2020. Proyek yang masuk dalam daftar strategis nasional ini malah mengalami kemunduran.
Kondisinya bertambah runyam karena pandemi Covid-19 membuat harga minyak dan gas alam cair (LNG) menurun. Pengembangannya menjadi semakin sulit, meskipun operator blok migas itu, Inpex, tetap berkomitmen akan mengembangkannya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji berjanji akan memulai pembahasan pengembangan Blok Masela dalam waktu dekat ini. "Kami akan membahas ini dengan seksama. Semoga berjalan lancar," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (23/12).
Shell telah membuka datanya ke sejumlah investor untuk menggantikan posisinya di Blok Masela. Dari catatan Katadata.co.id, sebanyak 32 perusahaan telah menyatakan minatnya mengembangkan LNG Abadi Blok Masela. Namun, sampai sekarang belum terdengar siapa calon kuatnya.
Tanpa partner, Inpex akan kesulitan dalam mengembangkan blok tersebut. Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan saat ini proses open data room Blok Masela masih berlangsung. Begitu juga dengan diskusi komersial antara Shell dengan beberapa calon penggantinya.
Namun, ia tak dapat membeberkan deatil diskusi itu karena prosesnya business to business. SKK Migas tidak dilibatkan sama sekali.
Julius menargetkan proses pencarian partner Blok Masela diharapkan dapat rampung pada akhir tahun 2021. “Kami hanya menerima laporan update saja dari Inpex. Detailnya kami tidak tahu," kata dia.
Acting Corporate Communication Manager Inpex Masela Moch N Kurniawan pun mengatakan belum ada progres yang dapat disampaikan. "Belum ada update," ujarnya.
Untuk perkembangannya di lapangan, Julius menyampaikan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal Blok Masela telah disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada pekan lalu untuk persetujuan.
Saat ini kegiatan yang Inpex laukan adalah melanjutkan metocean survey (survei eksplorasi geografis laut), pembebasan lahan, dan onshore geophysical and geotechnical (G&>) intertidal survey. "Masih lanjut terus dengan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya," ujar Julius.
Pengembangan Blok Masela Makin Rumit
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin berpendapat Inpex tidak mungkin menanggung 100% beban Pengembangan Blok Masela. Di sisi lain, untuk mengambil alih hak partisipasinya, Shell mematok harga tinggi, yaitu US$ 2 miliar (sekitar Rp 28,5 triliun).
Di saat bersamaan, pandemi virus corona sedang membuat para pelaku migas berhati-hati dalam berinvestasi. “Jadi, pengembangan blok ini sepertinya akan mundur beberapa tahun ke depan,” katanya.
Kondisi tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Jangan terlalu ikut campur dalam penembangan atau pengoperasian blok migas. Para pelaku usaha sektor ini sudah cukup mengambil risiko tinggi dalam mencari cadangan dan mengembangkannya. Pemerintah seharusnya tidak menambah kesulitan itu dengan intervensi hal-hal teknis.
Blok Masela sempat tak jelas nasibnya karena pemerintah tak kunjung mengambil sikap apakah akan menempatkan fasilitas LNG-nya di darat dan laut. Proses ini saja harus menunggu sampai jabatan presiden berganti.
Shell saat itu berminat dalam pengembangan blok tersebut karena memiliki teknologi fasilitas LNG terapung. Perusahaan percaya cara ini dapat meningkatkan keekonomian lapangan dan membawa nilai tambah. Sekarang kesempatan itu tampaknya hilang.
Mosche menyebut potensi yang hilang termasuk efek berganda ke peningkatan ekonomi daerah, pengembangan industri, dan penambahan lapangan kerja serta pendapatan pajak. "Sulit juga untuk memberikan insentif yang cukup signifikan karena besarnya proyek ini," ungkap Moshe.
Sebagaimana diketahui pada 2015 lalu, sempat terjadi perdebatan panjang antara Menteri ESDM kala itu Sudirman Said dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli terkait pilihan skema di lepas pantai (offshore) atau di darat (onshore).
Dengan pertimbangan multiplier effect bagi pengembangan industri di Maluku, akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan memilih usulan Rizal. Hal ini pun membuat perubahan rencana pengembangannya atau PoD berubah dari laut menjadi darat.
Kesalahan pemilihan lokasi dalam pengembangan Blok Masela juga sempat disinggung kembali oleh Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam kanal Youtbe Karni Ilyas Club, pria yang akrab disapa JK itu bercerita mandeknya pengembangan blok migas itu lantaran pemindahan fasilitas LNG-nya. Padahal, dengan fasilitas di laut, blok itu dapat beroperasi pada 2024.
JK menyesalkan usulan Rizal tersebut. Dengan kebijakan sekarang, negara malah mengalami kerugian US$ 5 miliar. “Karena sistemnya cost recovery (pengembalian biaya operasi). Kalau biaya naik jadi US$ 5 miliar, negara yang tanggung,” kata JK pada November lalu.
Kepastian Pembeli Gas Penentu Blok Masela
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto memperkirakan tahun depan pengembangan Blok Masela akan tetap berjalan. Misalnya, Inpex menjalankan komitmen-komitmen aktivitas dan investasi yang telah disetujui dalam PoD.
Namun, penentu kelanjutan proyek itu adalah ada atau tidaknya kepastian pembeli gas. Termasuk pasar ekspor dan dalam negeri. "Jadi, yang terus harus berprogres secara konkrit dan progresif bukan hanya operator, tetapi juga pemerintah," kata dia.
Pada awal Desember ini, Inpex dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) baru saja menandatangani nota kesepahaman (MoU) jual-beli gas Blok Masela. Keduanya sepakat memanfaatkan sumber daya alam secara efektif untuk kepentingan domestik.
Kesepakatan ini menjadi titik awal kedua belah pihak memulai pembahasan penjualan dan pembelian gas bumi dari Proyek LNG Abadi Blok Masela. Penandatangannya dilakukan di sela acara 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil & Gas (IOG 2020).
Pada acara itu, Presiden Direktur Inpex Masela Akihiro Watanabe dan Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN Syahrial Mukhtar melakukan tanda tangan, disaksikan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.
Sebelumnya, pada Februari lalu, Inpex juga telah menandatangani MoU dengan PLN dan Pupuk Indonesia untuk memasok kebutuhan gas ke pembangkit listrik tenaga gas dan kilang co-production.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai belum ada kemajuan yang pasti dalam pengembangan Blok Masela. Bahkan malah mengalami mundur dari target yang ditetapkan.
Apalagi, ke depan akan banyak proyek-proyek LNG yang akan onstream berbarengan. Pasar gas alam cair akan sangat penuh dan jenuh. Persaingan harga akan semakin ketat.
Ia berpendapat intervensi pemerintah dalam pengembangan proyek Masela sangat kurang, terutama dalam hal mencari pembeli gas di pasar internasional. Seharusnya pemerintah bisa lebih aktif lagi memasarkan LNG blok tersebut.
Pertamina, menurut dia, merupakan partner yang pas mendampingi Inpex. Perusahaan pelat merah migas itu sebenarnya sudah menyatakan minatnya. Namun, tidak ada respon dari Inpex.
zSKK Migas pun telah mempersilakan Pertamina mengikuti tender hak partisipasi blok tersebut. Saat kelanjutan proses ini, Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) enggan menjawab. "Check ke direksi," ujarnya.
Sebagai informasi, produksi Blok Masela penting untuk mengatasi defisit neraca gas yang diproyeksi bakal terjadi pada 2025. Defisitnya diperkirakan mencapai 206,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Proyeksi neraca gas terlihat pada grafik Databoks berikut ini.
Pemerintah berharap Blok Masela dapat memberikan kontribusi tambahan produksi gas bumi setara 10,5 juta ton per tahun (MTPA). Produksinya terdiri dari 9,5 juta ton LNG per tahun dan gas pipa sebesar 150 juta standar kaki kubik per hari.
Selain produksi migas, pengembangan blok itu diharapkan dapat menciptakan efek berganda bagi industri pendukung dan turunan di dalam negeri dalam rangka mendukung perekonomian nasional. Berdasarkan data SKK Migas, produk domestik bruto (PDB) bakal mencapai US$ 153,6 miliar atau sekitar Rp 2.135 triliun selama Blok Masela memproduksi gas dari 2022 sampai 2055.