Harga minyak menyentuh US$ 50 per barel pada bulan ini, level tertinggi sejak Maret lalu. Ekspektasi keberhasilan vaksin virus corona menjadi pemicu utama. Ada juga sentimen positif dari Amerika Serikat yang akan mengucurkan paket bantuan Covid-19 senilai US$ 900 miliar.
Pada perdagangan hari ini, harga minyak acuan Brent naik 0,65% menjadi US$ 51,42 per barel. Untuk jenis West Texas Intermediate (WTI) juga bergerak positif 0,79% menjadi US$ 48,38 per barel.
Namun optimisme harga minyak akan kembali naik tahun depan terasa prematur. Para analis memperkirakan pemulihan harga baru terjadi pada paruh kedua 2021.
Gelombang kedua virus corona yang melanda dunia masih akan menekan konsumsi bahan bakar. Lalu, keinginan organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC untuk meningkatkan pasokan berpotensi menurunkan kembali harganya.
Prediksinya, tahun depan harga Brent sekitar US$ 45 per barel dan WTI di US$ 43 per barel. “Kami memperkirakan terjadi kemuduran harga minyak, serupa dengan yang terjadi di awal September,” kata Direktur Rapidan Energy Group Allyson Cutright, Selasa (29/12), dikutip dari Investors.com.
Gejolak Harga Minyak Akan Terjadi di 2021
Badan Energi Internasional atau IEA mengatakan pasar minyak tetap rapuh karena permintaan bahan bakar untuk pesawat terbang belum pulih tahun depan. Segmen ini merupakan konsumen terbesar untuk minyak. Asosiasi Transportasi Udara Internasional pun melihat lalu lintas penumpang maskapai penerbangan baru kembali normal di 2024.
Tak heran, perusahaan energi dunia, seperti Exxon Mobil, Chevron, Royal Dutch Shell, dan Total memangkas belanja modal dan tenaga kerjanya pada 2021. Langkah antisipasi ini demi menyelamatkan kinerja perusahaan ketika harga minyak menurun.
Bahkan BP dan Total, melansir dari Reuters, dalam laporan tahunannya menyebut puncak permintaan minyak global telah terjadi pada 2019. Saat ini adalah era transisi menuju energi bersih atau baru terbarukan.
Produksi minyak dunia turun pada 2020 dari 100,61 juta barel per hari pada tahun lalu menjadi 94,25 juta barel per hari. Tahun depan, Administrasi Informasi Energi AS memperkirakan angkanya di 97,42 juta barel per hari, tak lebih baik dari 2019. “Setiap siklus (krisis) terasa seperti yang terburuk ketika Anda melewatinya, tapi siklus ini sangat melelahkan,” kata Kepala Eksektif Teal Natural Resources LLC John Roby kepada Reuters.
Dampak pandemi Covid-19, minyak mentah acuan AS, yaitu WTI, sempat jatuh ke wilayah negatif. Kejadiannya terjadi pada April lalu. Ketika itu Brent di bawah US$ 20 per barel. “Kami benar-benar belum pernah melihat yang seperti ini, tidak dalam krisis keuangan, tidak setelah peristiwa 9/11,” kata analis dari Thrid Bridge Peter McNally.
Dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan gejolak masih terjadi. “Pasar telah kacau dan tidak teratur selama 12 bulan terakhir dengan implikasi jangka panjang,” kata analis Mitsubishi UFJ Financial Group.