Pembangunan pabrik pemurnian atau smelter tembaga PT Freeport Indonesia di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku Utara mulai menemukan titik terang. Freeport dipastikan menggandeng perusahaan asal Tiongkok, Tsingshan Steel, dalam proyek ini.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut kedua perusahaan akan membuat pabrik pemurnian tembaga menjadi kobalt dan asam sulfat. “Ini tinggal finalisasi perjanjian antara Freeport dan Tsingshan,” katanya dalam acara Tantangan dan Optimisme Investasi di 2021 - Special Dialogue IDX Channel, Rabu (3/2).
Rencananya, produsen baterai listrik terbesar dunia asal Negeri Panda, Contemporary Amperex Technologi atau CATL, juga akan ikut bergabung. Luhut memperkirakan investasi yang masuk dalam tiga tahun ke depan mencapai US$ 30 miliar atau sekitar Rp 420 triliun.
Ia mengatakan CATL telah menandatangani komitmen investasi sebesar US$ 10 miliar atau Rp 140 triliun. Lalu, produsen kobalt asal Tiongkok, yaitu Huayou Group, bersama Tsingshan dan Freeport akan menandatangani kontrak senilai US$ 2,8 miliar atau Rp 39,2 triliun untuk smelter. “Ini akan melahirkan turunan pabrik pipa dan kawat tembaga, mungkin sampai US$ 10 miliar,” ucap Luhut.
Sebelumnya, lokasi smelter tembaga Freeport berada di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur. Nilai investasinya mencapai US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun. Pemerintah lalu membuka opsi membangun pabrik pemurnian di Weda Bay, Maluku Utara.
Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan perusahaan bakal memilih opsi yang paling ekonomis dalam pembangunan smelter. Untuk membangun pabrik di Weda Bay biayanya menjadi US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25 triliun. “Kami tentu lebih prefer ke Halmahera,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu.
Direktur Utama Indonesia Asahan Aluminum atau MIND ID Orias Petrus Moedak pun mendukung rencana Freeport menggandeng Tsingshan Steel. Dengan syarat, biaya pembangunannya lebih kecil dibandingkan hitungan awal.
Pasalnya, dari investasi sebesar US$ 3 miliar untuk membangun smelter di Gresik, MIND ID selaku induk usaha harus menanggung beban US$ 1,2 miliar hingga US$ 1,5 miliar. “Jadi, kami mendukung (smelter di Halmahera). Tapi saat ini semua masih dalam tahap awal pembicaraan,” kata Orias.
Pembangunan Smelter Freeport di Gresik
Hingga Juli 2020, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pembangunan smelter katoda tembaga di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur, baru mencapai 5,86%. Serapan biaya US$ 159 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun. Padahal, pada tahun lalu targetnya mencapai 10,5% dari keseluruhan pembangunan.
Untuk fasilitas pemurnian logam berharga, realisasinya baru 9,79% dengan serapan biaya US$ 19,8 juta atau sekitar Rp 278 miliar. Target pembangunan ini seharusnya mencapai 14,29%.
Pemerintah sempat mempertimbangkan penundaan jadwal penyelesaian pembangunan pabrik pemurnian atau smelter tembaga PT Freeport Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 telah membuat pengerjaan proyek itu terganggu.
“Dunia belum seindah 100% yang kami harapkan. Kalau ada kendala, akan kami pertimbangkan target 2023,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin pada 15 Januari lalu.